Sabtu, 25 Februari 2017

Makalah Sistem Pencernaan Sapi Perah dan Proses Produksi Susu

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pencernaan adalah proses perubahan secara fisik dan kimia yang dialami oleh pakan (ransum) di dalam saluran pencernaan ternak. Ternak mengkonsumsi pakan untuk mencukupi kebutuhan nutriennya untuk hidup pokok, produksi dan reproduksi. Pakan yang dikonsumsi oleh ternak akan mengalami perubahan secara fisik dan kimia di dalam tubuh melalui aktivitas alat pencernaan dan enzim pencernaan. Berdasarkan proses perubahan yang terjadi di saluran pencernaan, maka proses pencernaan dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu: (a) proses pencernaan secara mekanis, (b) proses secara hidrolis dan (c) proses pencernaan secara fermentatif (Sutardi, 1980). Alat pencernaan adalah kumpulan beberapa Organ yang langsung berhubungan dengan dengan penerimaan, pencernaan bahan-bahan makanan dan pengeluaran sisa-sisa pencernaan (Parakkasi, 1995). Posisi atau lokasi proses pencernaan fermentatif ternyata bervariasi antara jenis ternak, dan hal ini akan memberikan implikasi yang berbeda pada jenis pakan yang sesuai. Lambung ternak ruminansia berbeda dengan ternak non-ruminansia yaitu alat pencernaan ternak ruminansia lebih kompleks (Sutardi, 1983). Perbedaan dalam posisi organ untuk proses pencernaan fermentatf menyebabkan kedua kelompok ternak tersebut memerlukan jenis pakan dengan karakteristik yang berbeda.
Proses pencernaan akan menghasilkan bahan baku yang digunakan untuk produksi susu. karbohidrat mudah terlarut, protein lolos degradasi, dan sebagai sumber glukosa untuk bahan baku produksi susu. Konsentrat memperluas peluang terbentuknya asam lemak asiri (volatile fatty acid = VFA) terutama asam propionat yang lebih banyak dengan produksi metan semakin kecil, sehingga efisiensi penggunaan energinya lebih tinggi (Blaxter, 1969; Orskov dan Ryle, 1990).
Pencernaan yang baik disertai pakan yang baik akan meningkatkan produksi susu. Saat ini kebutuhan susu di Indonesia 70% dipenuhi dengan jalan impor. Luthan (2012) menyatakan pada tahun 2012 produksi susu sebanyak 1.208.000 ton, sedangkan permintaan susu dalam negeri yang mencapai angka 3.120.000 ton. Hal ini dapat menjadi acuan peternak lokal untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas susu yang dihasikan ternak mereka. Merujuk pada kesempatan besar sekitar 70% pasar yang bisa diambil, maka pencernaan ternak wajib menjadi fokus utama. Susu  merupakan hasil produksi ternak yang berasal dari pakan yang diproses melalui sistem pencernaan.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana anatomi dan fisiologi pencernaan sapi perah.
2.      Bagaimana proses yang terjadi di saluran pencernaan sapi perah
3.      Bagaiman keterkaitan sistem pencernaan dengan proses produksi susu sapi perah
4.      Apa penyakit metabolik yang menyerang sistem pencernaan sapi perah

1.3 Tujuan
1.      Memahami sistem anatomi dan fisiologi pencernaan sapi perah.
2.      Mengetahui proses yang terjadi di saluran pencernaan sapi perah
3.      Mengetahui keterkaitan sistem pencernaan dengan proses produksi susu pada spi perah
4.      Mengetahui penyakit metabolik yang menyerang sistem pencernaan pada sapi perah










BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Hasil
2.1.1 Anatomi Alat Pencernaan Sapi
https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTNtzvnnVDt4NQu8pMnCiLWK1yGT-7OrkRpEcp-N2rh_n3x_iVn
2.1.2 Anatomi Lambung Sapi

a.       Mulut berfungsi sebagai alat pencernaan mekanik dan enzymatik.
b.      Oesophagus berfungsi sebagai saluran yang membawa pakan menuju lambung melalui gerak peristaltik.
c.       Rumen berfungsi sebagai tempat pencernaan pakan secara fermentatif dibantu oleh mikroba dan menghasilkan VFA (volatil fatty Acid).
d.      Retikulum berfungsi sebagai pembentuk bolus pakan dan penyaringan pakan dari benda asing.
e.       Omasum berfungsi sebagai tempat penyerapan air, mineral dan vitamin.
f.       Abomasum berfungsi sebagai tempat pencernaan enzymatik ditandai dengan disekresikannya esipepsin.
2.2 Pembahasan
2.2.1        Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan Sapi Perah
            Sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan yang dilengkapi dengan beberapa organ yang bertanggung jawab terhadap pengambilan, penerimaan, pencernaan dan absorbsi zat makanan. Perjalanan pakan yang dimakan oleh hewan ruminansia melewati organ-organ pencernaan yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda, dimulai dari mulut, esofagus, rumen, retikulum, kembali lagi ke mulut, retikulum, omasum, abomasum, usus halus, usus besar dan anus.
a.      Mulut
            Mulut adalah alat pengambil dan tempat mengunyah makanan. Dalam mulut makanan dipecahkan menjadi pecahan yang lebih kecil dan tercampur dengan air ludah. Air  ludah selain membasahi makanan juga melancarkan pengunyahan dan penelanan makanan dan disamping itu juga melarutkan sebagian makanan yang merangsang indera perasa makanan (Sihombing, 1991).
b.      Esofagus
            Menurut Sihombing (1991), esofagus berfungsi sebagai jalan makanan menuju rumen, sedang makanan tidak mengalami perubahan sepanjang esophagus.
c.       Lambung
     Foetus ruminansia seperti halnya foetus hewan lambung tunggal, mempergunakan karbohidrat sebagai sumber energi terbesar. Glukosa, fruktosa, dan asam amino dipergunakan untuk pertumbuhan selama periode prenatal. ternak ruminansia seperti sapi kerbau, domba dan kambing mempunyai lambung yang hampir sama dengan lambung ternak non ruminansia pada saat dilahirkan yaitu obamasum masih mendominasi dari total lambung. Akan tetapi setelah bertambahnya umur ternak maka lambung depan pada ternak ruminansia akan lebih cepat dibandingkan dengan obamasumnya. Setelah kelahiran, rumen, retikulum, omasum, obamasum berkembang samapi mencapai kesempurnaan dalam fungsinya. Ternak domba phase transisi dimulai pada saat umur ternak tersebut 5 minggu sampai dengan umur 9 minggu, sedangkan pada ternak besar seperti sapi phase tersebut pada umur 5 minggu sampai umur 12 minggu. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh jenis pakan yang dimakan oleh ternak tersebut. Sebagai contoh sapi atau kerbau yang dewasa maka berat rumennya kurang lebih 80%, retikulum 5%, omabomasum sebesar 7% dari seluruh lambung yang dimilikinya (Nuswantara, 2002).
     Seperti telah disinggung diatas bahwa ternak ruminansia mempunyai lambung ganda yaitu sebanyak empat bagian, yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Pembagian tersebut membuat rumen, retikulum dan omasum merupakan lambung depan yang semu hal ini dikarenakan ketiga bagian tersebut tidak ada glandulanya tanpa mocus dan tidak menghasilkan enzim untuk membantu mencerna nutrien. Sedangkan bagian lambung yang paling belakang yaitu abomasum yang disebut juga dengan lambung sejati. Bagian  ini mensekresikan enzim yang dapat membantu dalam proses pencernaan. Antara rumen dan retikulum dihubungkan dengan saluran yang disebut dengan reticulo-ruminal fold, sehingga ingesta makanan dapat mengalir dari rumen ke retikulum atau sebaliknya. Tempat inilah terdapat populasi mikroorganismeyang berfungsi mencerna karbohidrat, protei, dan proses pembentukan vitamin (Nuswantara, 2002).
d.      Rumen
            Rumen menempati dari pertengahan rongga perut bagian kiri yang memanjang ke belakang sampai tulang pinggul atau pelvis dan kedepan menempel pada diafragma sekat rongga dada. Bagian ini mempunyai tonjolan-tonjolan kecil yang disebut dengan papilae yang tidak berglandula dan tanpa mempunyai pungsi sebagai sekretorik tetapi dapat beradaptasi dengan baik dalam mencerna bahan kasar. Bagian luar dari rumen seperti ada sulcus yaitu suatu celah akan tetapi dilihat dari dalam disebut dengan pilar atau tonjolan sehingga rumen dibagi menjadi kantong-kantong atau saccus, dorsal saccus, cranial saccus dan caudal saccus. Pilar ini merupakan jaringan masculus dan juga mengandung pembuluh darah serta jaringan ikat yang dapat berkontraksi sehingga dengan adanya gerakan itu menyebabkan perpindahan dari makan di dalam dari atas kebawah dan sebaliknya yang berfungsi untuk mencampurkan makanan (mixing). Besar kecilnya kantong tersebut maka bagian yang terbesar adalah dorsal saccus, diikuti ventral saccus, caudal saccus, dan yang paling kecil adalah cranial saccus. Caudal saccus dibagi menjadi 2 yaitu dorso caudal saccus dan ventro caudal saccus bagian yang pertama lebih besar dibandingkan dengan yang kedua. Sedangkan dilihat dari pilarnya (sulcus) dibagi menjadi 3 bagian (dilihat dari luar) yaitu dorsal groove, ventral groove, dan longitudinal groove.
            Keberadaan asam lemak bebas di dalam rumen menyebabkan menurunnya kemampuan bakteri selulolitik mencerna serat sehingga terjadi juga penurunan produksi asam lemak atsiri, terutama C2, C3 dan C4. Padahal, ketiga asam lemak atsiri tersebut merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia (Lubis,1998). Menurut letak dari partikel pakan yang masuk dalam rumen maka rumen dibagi dalam beberapa bagian yaitu :
1.      Gas zone yaitu bagian yang paling atas, pada bagian ini berisi gas-gas hasil fermentasi dari pakan yang ada dalam rumen yang meliputi  gas CH4, CO2, H2S, dan H2. Bagian gas zone tersebut besar kecilnya dipengaruhi oleh jenis pakan yang gasnya dikeluarkan lewat kardia dengan prosese eruktasi. CO2 paling besar jika gas tersebut tidak dapat dikeluarkan akan tekumpul sehingga dapat menyebabkan suatu kelainan yaitu bloot.
2.      Pad zone yaitu bagian dari rongga rumen yang berisi fiber yaitu suatu ingesta yang terbentuk dari serat makanan yang dikonsumsi. Bagian ini juga terdapat mikroorganisme terutama yang mencerna serat seperti kapang dan bakteri selulolitik.
3.      Fluid phase yaitu dari rongga dari rumen yang berisi cairan. Pada bagian ini adalah bagian yang paling besar dibandingkan dengan rongga rumen lainnya, disamping itu juga terdapat populasi mikroorganisme yang paling banyak.
4.      High density phase adalah bagian rongga rumen yang berisi benda berat, benda asing dibagian tersebut seperti batu, metal. Hal tersebut juga tergantung ternak yaitu sapi perah lebih sensitiif dari pada sapi potong (Nuswantara, 2002).
                        Rumen memiliki tonjolan-tonjolan kecil yang disebut dengan papilae yang berperan untuk memperluas permukaan sehingga  penyerapan nutrien hasil fermentasi tersebut lebih besar. Banyak sedikitnya jumlah dan besar kecilnya papilae tersebut pada masing-masing ternak ruminansia tergantung dari letaknya. Sapi mempunyai papilae yang panjang dan banyak pada bagian tengah dan pada bagian sekitar pilar lebih sedikit. Bagian ventral mempunyai papilae yang besar dan panjang sedangkan pada bagian dorsal mempunyai papilae yang lebih kecil dan pendek.
                        Semakin banyak ingesta yang terekspos pada pailae tersebut untuk tumbuh sehingga akan menjadi semakin besar dan panjang. Perlu diketahui bahwa pada pilar-pilar rumen tersebut papilaenya lebih sedikit yang dikarenakan fungsi pilar tersebut untuk kontraksi sehingga kontak dan penyerapannya lebih sedikit. Bagian rumen yang ada maka caudal adalah bagian yang paling sedikit terdapat papilaenya. Rumen untuk ternak yang sudah dewasa menempati kurang lebih 80-86% dari seluruh lambung yang mempunyai fungi sebagai berikut :
1.      Menyiapakan bahan pakan untuk seterusnya dicerna dalam saluran pencernaan.
2.      Lokasi proses fermentasi nutrien/zat makanan akan mementukan spesifikasi dari rumen itu sendiri.
3.      Proses pencampuran dari ingesta (bahan makanan yang telah dicerna).
4.      Tempat terjadinya proses absorbsi dari hasil akhir fermentasi yang mekanisme absorbsinya untuk masing-masing asam lemak akan berbeda (Nuswantara, 2002).
Penyerapan asam lemak tidak terjadi ditempat lain kecuali adanya suatu hal yang khusus, misalnya adalah proses fermentasi dalam rumen tersebut cepat sedangkan absorbsinya tidak sempurna sehingga sebagian dari asam lemak tersebut ikut ke dalam  bagian lambung lain seperti retikulum dan sebagainya. Berdasarkan fisiologinya pencernaan ruminansia mampu mensintesis nutrien dari pakan kasar serta dibantu dengan kontribusi asam amino dari mikroba yang berkembang biak dalam rumen. Oleh karena itu dalam formulasi pakan ternak ruminansia dapat dikonsentrasikan pada pemenuhan kebutuhan nutrien berdasarkan profil dan karakter nutrien komponen pakan terutama untuk bahan kering, protein tercerna, energi metabolis, vitamin, dan mineral (Prawirodigdo, 2008)
e.       Retikulum
                        Nuswantara (2002) menyatakan bagian yang kedua dari lambung depan adalah retikulum, lambung bagian ini juga berpapilae yang berlainan bentuk dengan papilae pada rumen. Bentuk papilaenya lebih spesifik yang berbentuk segi enam seperti sarang lebah. Retikulum mempunyai fungsi dalam statusnya sebagai saluran pencernaan terutama lambung bagian kedua yaitu :
1.      Menyebarluaskan makanan yang dicerna kembali menuju rumen karena tidak adanya klep yang membatasi anatara rumen dan retikulum. Umumnya bagian pakan yang kasar seperti hijauan, konsentrat yang dalam keadaan masih masif sehingga belum sempat tercerna akan kembali ke rumen. Selain itu meluruskan jalan ingesta kebagian yang berikutnya atau omasum yang telah dicerna atau berupa cairan.
2.      Membantu dalam proses ruminasi terutama pada pross regurgitasi dapat dilihat dari motilitas lambung dimana retikulum dan rumen berperan dalam proses ruminasi.
3.      Merupakan lokasi untuk mencerna pakan yang masih belum sempat dicerna di rumen.
4.      Ikut mengatur arus bahan pakan dan materi pakan/ingesta dari retikulo rumen ke lubang retikul omasum.
5.      Merupakan tempat terkumpulnya benda-benda asing.
6.      Tempat absorbsi hasil akhir fermentasi seperti VFA yang belum sempat diabsorbsi di dalam retikulum, demikian juga terjadi absorbsi air dan amonia.
f.       Omasum
              Menurut Nuswantara (2002), omasum merupakan lambung depan terakhir yang dimiliki oleh ternak ruminansia. Perut bagian tersebut masih tergolong perut semu karena belum mensekresikan getah pencernaan. Omasum berbentuk seperti lembaran-lembaran atau lipatan  yang disebut dengan laminae. Perut bagian ini sering disebut juga dengan perut buku-buku. Lambung bagian omasum ini mempunyai fungsi sebagai berikut :
1.      Mengatur arus ingesta (bahan makanan yang telah dicerna) ke abomasum lewat lubang yang ada antara omasum dan abomasum yang disebut dengan omasal-abomasal orificae. Setelah masuk maka ingesta tersebut didorong masuk ke dalam abomasum.
2.      Omasum juga mencerna ingesta (bagian dalam terdapat lamine) sehingga ingesta yang ada dalam omasum tersebut seolah-olah tergilas di lamine tersebut.
3.      Penyaring dengan adanya lamine pada bagian ini maka ingesta yang lebih besar akan tertinggal dalam omasum sedangkan ingesta yang lebih kecil akan diteruskan ke abomasum.
4.      Omasum juga merupakan tempat absorbsi produk akhir fermentasi seperti air sehingga jika lambung tersebut kita buka banyak terdapat ingesta yang agak kering.
g.      Abomasum
Murti (2003) menyatakan bahwa abomasum merupakan lambung sejati karena bagian ini sudah mulai disekresikan getah pencernaan seperti HCL dan pepsin. Abomasum ternak ruminansia sama fungsinya dengan lambung (abomasum ternak non ruminansia). Lambung tersebut dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu cardia, fundus, dan pilorus. Bagian kardia merupakan gland mucus bagian ini berdekatan dengan omasum, anatara abomasum dan omasum ini dihubungkan oleh suatu celah yang disebut dengan omase-abomas orificae.  Bagian berikutnya adalah fundus yang bergranula, pada tengah ini banyak disekresikan enzim pencernaan, fundic gland atau kelenjar yang mendukung terdiri dari tiga tipe sel yaitu Body chief cells yang mensekresikan enzim seperti prorenin dan pepsinogen, Nech chief cells mensekresikan mucos, Perietal cells yang mensekresikan HCL dan yang paling akhir dari abomasum adalah pilorus yang dilengkapi dengan glandula mukosa.
h.      Usus Halus
Sebagian besar pencernaan dan absorbsi nutrisi terjadi di dalam usus halus. Proses pencernaan dibantu oleh kelenjar intestinal yang mengahasilkan mucin berfungsi sebagai pelicin dan enzim sukrase memecah sukrosa menjadi glukosa, fruktosa, maltase memecah maltosa menjadi glukose, eripsin memecah bentuk intermediet protein menjadi asam amino (Yasin, 2010).
Usus halus terbagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum, jejenum, dan illeum. Duodenum merupakan bagian pertama dari usus halus. Saluran yang berasal dari hati dan saluran pankreas menyatu dalam duodenum pada jarak yang pendek dibelakang pilorus (Istidamah, 2006). Jejenum dengan jelas dapat dipisahkan dengan duodenum. Jejenum bermula dari kira-kira pada posisi dari mesentri mulai kelihatan memanjang. Jejenum dan ileum itu bersambung dan tidak ada batas yang jelas diantaranya. Protein yang dikonsumsi tidak seluruhnya dirombak oleh mikroba rumen, sebagian ada yang lolos dan masuk ke abomasum, terus mengalir ke usus halus (Tanuwiria, 2007).  Bagian terakhir dari usus halus ada ileum (frandson, 1992). Usus halus berfungsi sebagai berikut :
1.      Tempat terjadi pencernaan dan penyerapan karbohidrat dalam bentuk monosakarida.
2.      Tempat terjadinya perombakan peptida-peptida menjadi asam amino bebas dan kemudian diserap.
3.      Tempat terjadinya perombakan lemak menjadi gliserida dan asam lemak bebas (VFA) dan diabsorbsi.
i.        Usus Besar
Usus besar memiliki selaput lendir relatif lebih tebal, tidak memiliki vili, lebih banyak sel mangkok dari pada usus halus (Drabble,1971). Sebagian air diserap oleh selaput mukosa usus besar dan pada usus besar ini dikeluarkan lendir yang berfungsi sebagai pelicin. Ruminansia memiliki usus besar yang terdiri dari sekum, kolon, dan rektum.
j.        Sekum dan kolon
Sekum merupakan suatu kantong buntu dan kolon yang terdiri dari bagian naik, mendatar dan turun. Bagian yang turun akan berakhir di rektum dan anus (Frandson, 1986). Usus buntu bersama kolon berfungsi sebagai tempat fermentasi selulosa dan karbohidrat lainnya yang tidak di fermentasi dalam rumen, pada ruminansia alat pencernaan jauh lebih besar.
k.       Rektum
Getty (1975) mendefinisikan rektum sebagai saluran pendek terdiri dari garis otot polos dengan membran mukosa dan mempunyai saluran serosa pada interior dan berakhir pada anus. Rektum berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan feses selama menunggu saat yang tepat untuk dikeluarkan. Bagian turun akan berakhir di rektum dan anus.

2.2.2        Proses yang terjadi di saluran pencernaan
1.      Prehensi.
          Prehensi merupakan gerakan pengambilan pakan dari luar masuk ke mulut untuk dikunyah. Alat-alat yang penting untuk prehensi yaitu : bibir, lidah dan gigi.
2.      Mastikasi
          Mastikasi yaitu proses pengunyahan pakan secara mekanis menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, sebagai kelanjutan pada prehensi. Pada mastikasi yang berrperan adalah gigi. Walaupun ruminansia telah dilengkapi dengan gigi untuk mengunyah pakan, tetapi biasanya mereka tidak melakukan pengunyahan sewaktu makan. Bahan-bahan pakan tersebut hanya dicampur dengan saliva. Frekuensi mastikasi rata-rata 94 kali per menit (Tanuwiria, 2007).
3.      Ensalivasi
          Yaitu pencampuran pakan dengan saliva dan untuk kemudian ditelan dalam bentuk bolus. Pencampuran ini bertujuan untuk mempermudah penelanan pakan. Nuswantara (2002) menyatakan saliva yang dikeluarkan ada tipe yaitu mucous yang mengandung mucim, bentuknya kental sehingga bersifat viscous dan yang kedua adalah serous, bentuknya cair (Watery) berjumlah banyak dan mengandung senyawa bikarbonat yang berfungsi membafer (lob viscous).
4.      Degluitasi.
          Bolus-bolus yang terbentuk akan ditelan dan masuk ke dalam rumen bagian interior. Bolus-bolus rumput kering akan terapung, sedangkan bolus konsentrat karena lebih berat akan tenggelam.  Bolus yang terjadi di dalam mulut akan ditempelkan diujung lidah, kemudian dibawah keatas sampai kelangit-langit mulut selanjutnya di bawah kebelakang, akibatnya epiglotis membuka dan dengan dorongan lidah bolus masuk ke dalam faring. Setelah masuk faring, terjadi stimulasi pada faring, akibatnya trachea akan menutup dan dengan dorongan basa lidah, bolus masuk ke esophagus. Dorongan basa lidah juga diperkuat oleh muskulus faring. Akhirnya bolus secara peristalik akan masuk ke dalam rumen lewat kardia (Nuswantara, 2002)..    
5.      Eruktasi
          Eruktasi merupakan gerakan pengeluaran  gas CO2 dan CH4 hasil fermentasi rumen lewat esophagus. Gas tersebut dikeluarkan dari rumen sewaktu rumen distensi, sehingga tekanan didalam rumen turun, akibatnya gas akan keluar dari bagian dorsal ke depan (Nuswantara, 2002)..
6.      Ruminasi
Ruminasi merupakan gerakan yang komplek, berurutan dan terkoordinir, yang meliputi gerakan-gerakan :
a.       Regurgitasi :
      Merupakan pengeluaran kembali pakan yang sudah sedikit dicerna dari rumen kerongga mulut yang diatur oleh susunan syaraf. Syaraf yang berperan dalam gerakan regurgitasi adalah muskulus spinter dan muskulus faringeal. Regusgitasi dimulai dari kontraksi retikulum yang diikuti rumen bagian bawah, akibatnya ingesta akan dibawa keatas, yang kemudian akan disusul oleh pengembangan rongga dada berkurang, dengan adanya stimulasi bolus yang bergerak, kardia akan terbuka dan ingesta didorong masuk esophagus. Adanya gerakan anti peristaktik, ingesta yang masih kasar akan terdorong masuk kemulut. Setelah ingesta sampai dimulut maka akan dimastikasi kembali.
b.      Remastikasi :
Adalah pengunyahan kembali ingesta. Gerakannya biasanya lebih lama dibandingan mastikasi dan diatur oleh syaraf vagus. Frekuensi remastikasi lebih kurang 55 kali per menit.
c.       Reensavilasi :
Proses reenvilasi, saliva yang dikeluarkan lebih banyak dari ensalivasi.
d.      Redeglutasi :
Adalah penelanan kembali pakan langsung ke retikulum.
7.      Usus Halus
          Usus terjadi proses pencernaan akhir, artinya semua zat yang masih bermolekul ganda atau masih berantai panjang akan dirombak menjadi zat yang labih sederhana yang umumnya bermolekul tunggal. Zat ini baru akan diabsorbsi dalam usus. Proses ini jejunum. Doedenum dan ileum mempunyai fungsi yang hampir sama. Sedikit perbedaan ialah pada jumlah kelenjar yang terdapat didalam bagian usus halus tersebut. Sepanjang usus halus terdapat banyak kelenjar  Brunner yang terletak pada puncak kelenjar mucosa. Bagian  ujung belakang jejenum, semakin ke belakang semakin jarang, sehingga akhirnya pada ujung belakang ileum sangat jarang.
8.      Usus Besar
          Meskipun air yang diminum dan air yang terdapat dalam saliva serta caiaran gastrointestinlis sebagian besar telah diserap dalam usus besar masih banyak mengandung banyak air. Saat bahan makanan tertentu melewati kolon terjadilah absorbsi cairan. Sehingga apabila beban makanan tersebut melewati colon dalam waktu singkat maka kolon tidak sempat mengabsorbsi cairan lebih banyak dan feses yang keluar nantinya masih banyak mengandung airnya. Keadaan ini sering disebut diare, sebaliknya sembelit akan terjadi apabila bahan makanan terlalu lama tinggal di kolon.
9.      Proses Pengeluaran Feses
          Sisa hasil pencernaan akan dikeluarkan menuju rektum.

2.2.3        Keterkaitan sistem pencernaan dengan proses produksi susu
Pakan pada ternak perah selain dimanfaatkan untuk hidup pokok juga dimanfaatkan untuk produksi susu (laktasi). Proses metabolisme sapi perah yang berproduksi tinggi berlangsung sangat intensif. Menurut Burgstaller (1986) bahwa sapi yang berproduksi susu 30 kg/hari, maka sapi harus mampu mensintesis  lemak susu 1200 gram, 1750 gram dan protein susu 1100 gram. Untuk mensintesis 1 kg susu diperkirakan sekitar 400 liter darah mengaliri ambing atau 12000 liter/hari.
Tinggi rendahnya produksi susu sangat ditentukan oleh kemampuan sapi mensintesis nutrient yang terkandung dalam susu, terutama gula susu (laktosa). Konsentrasi energi dalam ransum, disamping daya tampung pakan dalam rumen pakan menentukan suplai energi atau nutrient pada sapi. Oleh karena itu semakin tinggi kinerja sapi maka konsentrasi energi dalam pakan juga harus ditingkatkan.
Feed intake dikendalikan secara fisiologis maupun mekanis oleh sistem syaraf pusat. Secara fisiologis, berhentinya sapi mengkonsumsi pakan (kenyang) akan ditentukan oleh : 1) energi termis dalam proses metabolisme, 2) konsentrasi glukosa darah, 3)deposisi lemak tubuh. Secara mekanis ditentukan oleh kemampuan/kapasitas rumen. Semakin cepat pakan berpindah dari rumen maka feed intake akan semakin tinggi. Lama pakan tinggal dalam rumen atau rate of passage ditentukan oleh intensistas pembingkaran pakan yang ada dalam rumen oleh mikroorganisme rumen. Pakan yang ada dalam rumen akan dedegradasi menghasilkan produk fermentasi yang sebagian lagi akan diteruskan menuju saluran pasca rumen dan dapat dimanfaatkan oleh ternak baik untuk keperluan hidup pokok maupun produksi susu atau laktasi. Keperluan produksi susu ini nutrient pakan akan diubah menjadi nutrient susu melalui biosintesis protein susu, biosisntesis laktosa dan biosintesis lemak susu.
Susu disekresikan terutama pada waktu pemerahan. Komponen utama susu adalah : air, lemak, bahan kering tanpa lemak, yang tersususn dari protein, laktosa, mineral, vitamin dan beberapa tipe sel antara lain bakteri, leukocyte dan sel kelenjar susu. Tingkat kecepatan produksi susu terutama ditentukan oleh proses-proses fisiologis termasuk kecepatan sel kelenjar susu mengambil alih nutrient dari darah, mengubahnya menjadi komponen susu, dan mengeluarkan kedalam lumen alveoli.
Proses pelepasan susu kedalam lumen alveoli terjadi tanpa membuka bagian sel. Sebenarnya susu tidak benar-benar terbentuk sebelum mencapai lumen alveolus, dimana masing-masing komponen susu terbentuk pada bagian bawah sel, dan sejalan dengan berkembang ukurannya lemak tersebut bergerak menuju lumen alveolus. Tetes lemak ini akan terbungkus dengan membrane sel sesaat tetes lemak tersebut mendesak keluar dari sel, sehingga terjadi tonjolan yang kemudian terjadi penyempitan sehingga terbentuk semacam gelembung yang berisi lemak dan akhirnya penyempitan menutup dan gelembung lemak terlepas sesaat setelah membrane sel kembali rapat. Lain halnya dengan pelepasan protein, molekul protein yang terbentuk granula dalam vacuola dan dilepaskan kedalam lumen alveolus tanpa terbungkus dengan membrane sel. Laktosa juga disekresikan kedalam vacuola sekretorik dan dilepaskan kedalam lumen alveolus bersama-sama dengan protein.
a.      Biosintesis protein susu
            Protein pada umumnya terdapat asam amino esensial dan asam amino non esensial. Protein susu mengandung asam amino esensial dibandingkan dengan bahan makanan alami yang lain. Hal ini merupakan salah satu factor yang menyebabkan susu disebut sebagai bahan makanan alami yang mendekati sempurna. Semua disintesis dalam sel sekretorik dari asam-asam amino bebas. Protein-protein ini detemukan hanya dalam susu dan tidak terdapat dalam bahan makanan alami yang lain. Dalam susu casein bersama-sama membentuk struktur spiral yang disebut micelle.
            Walaupun fungsi utama pedet casein adalah untuk memnuhi kebutuhan pedet, fungsi lain telah diketahui. Contoh : kappa casein menstabilkan miclle casein, apabila stabilitasnya terganggu, akan terjadi curd dalam susu. Beta lactoglobulin menghasilkan flafour yang spesifik bila dipanaskan. Bila protein susu didenaturasi oleh panas ini akan mencegah terbentuknya curd yang sangat dibutuhkan dalam proses keju cottage. Kelompok kedua protein susu termasuk immunoglobin dan serum albumin darah tampak tersusun dari protein darah dan tidak terjadi perubahan dalam susu. Sintesis protein ini dalam kelenjar susu tidak diperlukan.
            Jumlah protein susu relative sedikit, dan protein yang dihasilkan selalu tersusun dari jumlah asam-asam amino yang sama dan tersusun dalam deretan yang sama. Setiap individu sapi selalu menghasilkan protein susu yang sama, tetapi hal ini dapat berbeda dengan protein yang dihasilkan dalam peternakan.
            Sinteis protein memerlukan energi, dan energi berasal dari pemecahan adenosine triphosphase (ATP) menjadi adenosine monophosphate (AMP). Pada ruminansia ATP dihasilakan dari oksidasi karbohidrat, terutama glukosa, dari asetat dan lemak. Sintesis protein susu yang optimal tidak mungkin terjadi apabila sejumlah energi yang diperlukan tidak tersedia dalam ransum.

b.      Metabolisme karbohidrat pada sapi perah
            Karbohidrat dalam darah sapi adalah glukosa. Sebagian besar karbohidrat dalam pakan difementasi dalam rumen menjadi volatile fatty acids (VFA). Salah satu dari VFA ini adalah asam propionat diubah menjadi glukosa dalam hati. Sumber glukosa darah yang penting lainnya pada ruminansia adalah dari pemecahan protein (glukogenesis) dalam jaringan peripher sampai kelenjar susu. Asam glukosa dalam darah hanya sekitar setengah jumlah yang ditemukan dalam ternak non ruminansia. Ketersediaan glukosa mungkin merupakan factor pembatas untuk mencapai sekresi susu maksimal pada ruminansia.
            Pemanfaatan glukosa dalam darah pada sapi digunakan oleh sekretorik untuk beberapa kepentingan, masing-masing terkait dengan sintesis susu. Glukosa dimanfaatkan untuk sintesis gula susu atau laktosa, glukosa juga dimanfaatkan sebagai sumber ATP, digunakan untuk sintesis komponen gliserol dari triglisarida susu dan digunakan untuk sintesis RNA.

c.       Biosintesis laktosa
            Laktosa menyebabkan adanya rasa sedikit manis pada susu. Laktosa juga menyebabkan terjadinya pertumbuhan bakteri tertentu yang membentuk asam laktat dalam susu halus pedet. Asam laktat membantu dalam proses absorbs CA dan P untuk pembentukan tulang pada pedet muda. Glukosa merupakan satu-satunya prekusor laktosa. Molekul glukosa harus terdapat dalam kelenjar susu untuk membentuk satu molekul laktosa. Satu unit glukosa diubah menjadi galaktosa. Penggabungan satu molekul glukosa kedua dengan molekul galaktosa, menggunakan katalisator enzim lactose sintetase.

d.      Biosintesis lemak susu
            Karakteristik lemak susu sapi terdiri dari campuran trigliserida dengan proporsi asam lemak rantai pendek (C4-C14) yang agak tinggi (sekitar 50%). Karakteristik lain lemak susu adalah proporsi yang tinggi dari asam lemak jenuh. Kandungan asam lemak susu menjadi penting juga karena menentukan harga susu.

e.       Prekusor asam lemak rantai panjang
            Asam-asam lemak dalam ransum sapi menyumbang sekitar setengah dari jumlah asam lemak yang ditemukan dalam susu. Asam-asam lemak ini hamper seluruhnya merupakan berbagai asam lemak rantai panjang. Sebagian besar asam lemak tumbuhan dalam pakan sapi adalah asam lemak rantai panjang dan jenuh. Banyak asam lemak tidak jenuh mengalami hidrogenasi dalam rumen dan menjadi jenuh. Ini yang menyebabkan terjadi peningkatan proporsi asam lemak jenuh yang tinggi pada susu sapi.
            Setelah melalui rumen, asam lemak rantai panjang diabsorbsi dari dinding usus halus ke dalam sistem limphe, kemudian menjadi terikat dengan satu protein, bergerak kedalam saluran darah, dan diabsorbsi dari darah oleh sel sekretorik kelenjar susu. Tipe pakan sapi dapat mempengaruhi panjangnya rantai asam lemak yang disekresikan kedalam susu dan tingakat kejenuhan ( karena rumen tidak 100% efisien dalam manghidrogenasi/ menjenuhkan semua asam lemak dalam pakan).

f.       Prekusor asam lemak rantai pendek
            Asam lemak rantai pendek yang menyusun sekitar 50% lemak susu, tidak dihasilkan langsung dari assam lemak dalam ransum, tetapi disintesis dalam sel sekretorik kelenjar susu dari asam asetat dan satu benda keton, beta-hidroksi butirat. Asetat atom C-2 sedangkan beta-hidroksi butirat molekul dengan 4 atom C, dan kedua molekul asam lemak ini berasal daari fermantasi karbohidrat tanaman pakan dalam rumen menjadi VFA. Asam lemak rantai pendek mempunyai bau yang tajam.
            Asam lemak rantai pendek disintesis dengan langkah-langkah penambahan dari asam asetat. Dengan kata lain panjang rantai meningkat dua karbon setiap proses. Jalur yang pertama untuk sintesis lemak dalam sel sekretorik menggunakan beta-hidroksi butirat sebagai bahan pokok, yang diubah kembali menjadi asam lemak volatile butirat dan dengan penambahan setiap kali dua karbon dapat tersusun asam lemak rantai pendek dengan variasi panjang rantainya.
            Asam asetat lebih banyak digunakan untuk sintesis lemak susu dibandingkan dengan asam beta-hidroksi butirat. Asetat juga dapat menyediakan energi untuk sel sekretorik. Karena kontribusinya yang besar dalam sintesis susu maka produksi asetat dalam rumen sapi esensial untuk optimalisasi produksi susu.

g.      Vitamin, mineral dan air
            Sel sekretorik tidak dapat mensintesis vitamin atau mineral, karena itu semua vitamin dan mineral dalam susu disuplai dari darah. Calcium (Ca), Phosphor (P), Potasium (K), Cloride (Cl), Sodium (Na), dan Magnesium (Mg) merupakan mineral utama dalam susu. Walaupun mineral dalam susu diserap dari darah, tetapi belum dapat disimpulkan apakah mineral tersebut diabsorbsi dari konsentrasinya dalam darah atau ada mekanisme yang memungkinkan penyerapan secara selktif. Ada beberapa bukti bahwa sel epithel dapat melepas mineral kembali kedalam seperti melepas kedalam susu, yang menggambarkan adanya mekanisme transport aktif.
            Air dalam susu sebagian berasal dari cairan intraseluler yang kaya akan potassium dari sel alveolus dan sebagian dari aliran darah yang diabsorbsi untuk menjaga keseimbangan osmose, karena hasil sintesis laktosa, protein dan lemak. Bila susu dalam keseimbangan osmose dengan darah dan jumlah laktosa hamper sepertiga tekanan osmose susu, kenaikan konsentrasi laktosa menyebabkan penambahan air dan penurunan kandungan sodium dan chloride dalam susu. Proses ini dapat sangat mempengaruhi produksi susu, terutama karena kadar air susu sangat tinggi (87%).

2.2.4        Penyakit Metabolik Pencernaan
1.        Milk Fever
                        Milk fever dan hipokalsemia subklinis (total kalsium darah 2,0 mmol/l) adalah penyakit penting akibat gangguan makromineral pada sapi-sapi periode periparturien. Kejadian milk fever biasanya sekitar 5-10%, namun beberapa penulis pernah menyatakan insidensi rate milk fever bisa mencapai 34% bahkan lebih. Negara Irlandia pernah memiliki kejadian milk fever bisa mencapai 50%, di New Zealand sebesar 33% (Mulligan et al., 2006). Namun dari semua laporan yang pernah ada, belum pernah dilaporkan prevalensi hipokalsemia subklinis.
                        Milk fever adalah penyakit yang terjadi akibat ketidakmampuan seekor sapi beradaptasi terhadap perubahan konsentrasi kalsium di dalam tubuhnya. Kalsium adalah makromineral yang sangat penting di dalam tubuh. Kalsium berperan dalam proses pembentukan tulang, kontraksi otot, pembekuan darah dan lain-lain. Bila seekor sapi kehilangan kalsium akibat proses pemerahan, maka kalsium darah harus segera tergantikan. Ketidakmampuan sapi menanggapi kebutuhan tersebut menyebabkan konsentrasi kalsium darahnya turun dan menyebabkan gangguan peran fungsi kalsium termasuk kontraksi otot. Umumnya sapi penderita mempunyai konsentrasi kalsium darah kurang dari 7 mg/dl. Implikasi menurunnya peran fungsi kalsium mempunyai dampak yang luas terhadap sistem kekebalan dan penyakit-penyakit lain pada sapi periode periparturien. Penelitian Triakoso dan Willyanto (2001) pada sapi perah di KUD Karang Ploso Malang, juga menunjukkan hal yang sama. Parturient hipokalsemia pada sapi-sapi di KUD Karang Ploso Malang meningkatkan risiko terjadinya distokia sebesar 7,8; retensi plasenta 2,6; metritis 4,1 dan kepincangan sebesar 6,6 kali dibanding sapi yang tidak megalami parturient hipokalsemia.
                        Beberapa peneliti pernah melaporkan adanya keterkaitan antara milk fever dengan penyakit-penyakit gastrointestinal seperti rumen dan abomasum (Daniel, 1983; Jorgensen et al., 1998). Hal ini karena adanya penurunan motilitas muskulus rumen dan abomasum pada sapi penderita hipokalsemia subklinis maupun klinis. Menurunnya motilitas ini juga berpengaruh terhadap intake pakan. Penurunan intake pakan akan sangat tampak pada sapi yang berpoduksi tinggi, dimana kebutuhan akan pakan juga tinggi. Goff (2003) mengindikasikan bahwa menurunnya motilitas dan kekuatan kontraksi abomaum akan berpengaruh terhadap kejadian atoni abomasun dan distensi abomasum pada sapi yang mempunyai konsentrasi kalsium rendah di sekitar waktu partus.
2.        Milk Fever dan Mastitis
                        Milk fever meningkatkan risiko terjadi mastitis pada sapi perah. Penderita milk fever akan mengalami kesulitan mengalami kontraksi otot, termasuk juga otot-otot lubang puting. Penelitian Daniel et al. (1983) menunjukkan hubungan antara kekuatan dan laju kontraksi otot polos intestinal sejalan dengan konsentrasi kalsium darah. Sphincter lubang puting tersusun dari otot-otot polos. Kontraksi otot-otot polos tersebut akan menyebabkan lubang puting menutup. Jika terjadi hipokalsemia maka akan terjadi penurunan kekuatan dan laju kontraksi otot polos tersebut dan pada akhirnya akan menyebabkan gangguan penutupan lubang puting. Sebagaimana kita tahu bahwa lubang puting akan membuka sangat lebar setelah proses pemerahan dan semakin lebar bila sapi tersebut produksi susunya tinggi. Sementara itu penderita milk fever cenderung untuk rebah karena tidak mampu menopang berat badannya, karena kelemahan kontraksi otot-otot tubuhnya. Terbukanya lubang puting dan kecenderungan sapi rebah akan meningkatkan kemungkinan masuknya bakteri melalui lubang puting yang menjadi dasar proses kejadian mastitis. Sementa itu, neutrofil dan limfosit perifer mengalami penurunan fungsi kekebalan pada sapi penderita milk fever (Kehrli, Jr. and Goff, 1989). Demikian memang milk fever meningkatkan risiko mastitis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa risiko matitis meningkat 8 kali pada sapi penderita milk fever.
                        Hipokalsemia juga menjadi stressor bagi sapi perah. Sapi perah yang memasuki inisiasi partus akan terjadi peningkatan kadar kortisol 3-4 kali. Sapi hipokalsemia subklinis ditemukan peningkatan kortisol 5-7 kali saat partus, sementara pada sapi yang mengalami milk fever ditemukan peningkatan kortisol 10-15 kali lipat (Horst and Jorgensen, 1982). Tingginya kadar kortisol akan menyebabkan imunosupresi pada sapi pada periode periparturien dan diduga mulai terjadi 1-2 minggu sebelum partus (Kehrli et al., 1989; Ishikawa et al, 1987; Kashiwazaki et al., 1985).


BAB III
KESIMPULAN

1.    Sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan yang dilengkapi dengan beberapa organ yang bertanggung jawab terhadap pengambilan, penerimaan, pencernaan dan absorbsi zat makanan. Pencernaan pada ruminansia dimulai dari mulut, esofagus, rumen, retikulum, kembali lagi ke mulut, retikulum, omasum, abomasum, usus halus, usus besar dan anus.
2.    Proses pencernaan pada rumen adalah pencernaan protein, polisakarida, dan fermentasi selulosa oleh enzim selulase yang dihasilkan oleh bakteri dan protozoa tertentu. Setelah dari rumen, makanan akan diteruskan ke  retikulum dan di tempat ini makanan akan dibentuk menjadi gumpalan-gumpalan yang masih kasar disebut bolus.
3.    Tinggi rendahnya produksi susu sangat ditentukan oleh kemampuan sapi mensintesis nutrient yang terkandung dalam susu, terutama gula susu (laktosa). Tingkat kecepatan produksi susu terutama ditentukan oleh proses-proses fisiologis termasuk kecepatan sel kelenjar susu mengambil alih nutrient dari darah, mengubahnya menjadi komponen susu, dan mengeluarkan kedalam lumen alveoli.
4.    Penyakit metabolik pada pencernaan ruminansia adalah Milk fever dan mastitis.
5.    Milk fever adalah penyakit penting akibat gangguan makromineral pada sapi-sapi periode periparturien yang menyebabkan konsentrasi kalsium darahnya turun dan menyebabkan gangguan peran fungsi kalsium termasuk kontraksi otot.
6.    Mastitis menyebabkan penurunan kualitas susu dari segi kandungan susu yang rusak akibat bakteri.
DAFTAR PUSTAKA

Blaxter, K.L. 1969. The Energi Metabolism of Ruminants. Hutchinson Scientific and Technical. London
Daniel, R.C.W. 1983. Motility of the rumen and abomasum during hypocalcemia. Can.J.Comp.Med. 47:276
Frandson, R. D. 1986. Anatomy dan Fhisiology of Farm Animals. Colorado State University, Fort Collins.
Getty, R. 1975. The Anatomy of the Domestic Animal. WB Saunders. London
Goff, J.P. 2003. Managing transition cow – consideration for optimising energi and protein balance and immune function. Cattle practice. 11(2):51-63
Istidamah, Iis. 2006. Study Perbandingan Fisiologi dan Anatomi Saluran Pencernaan Kambing dan Domba Lokal. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Jorgensen, R.J., N.R. Nyegaard, S. Hara, J.M. Enemark and P.H. Andersen. 1998. Rumen motility during induced hyper- and hypocalcemia. Acta.Vet.Scand. 39:331-338
Lubis, Darwinsyah. 1998. Laju Pertumbuhan Domba yang Diberi Ransum Berkadar Lemak Tinggi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Vol. 3 (3): 143-148
Nuswantara, Limbang Kustiawan. 2002. Ilmu Makanan Ternak Ruminansia (Sapi Perah). Fakultas Peternakan. UNDIP.
Orskov, E.R dan M Ryle.1990. Energi Nutrition in Ruminants. Elsevier Applied Science, London.
Parakkasi, A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Universitas Indonesia : Jakarta
Prawirodigdo. 2008. Daya Dukung Pakan Hijauan dari Limbah Pertanian dan Perkebunan untuk Ternak Kerbau Rawa di Beberapa Daerah di Provinsi Jawa Tengah. Seminar Nasional Usaha Ternak Kerbau.
Sihombing, D. T. H. 1991. Ilmu Ternak. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid I. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor: Bogor
Sutardi, T. 1983. Standarisasi Mutu Protei Bahan Makanan Ternak Ruminansia Berdasarkan Parameter Metabolismenya oleh Mikroba Rumen. Proyek Pengembangan Ilmu dan Teknologi. Dirjen Pendidikan Tinggi: Jakarta.
Tanuwiria, U. Hidayat. 2007. Potensi Pakan Serat dan Daya Dukungnya terhadap Populasi Ternak Ternak Ruminansia Diwilayah Kabupaten Garut. Jurnal Ilmu Ternak, Vol.7 (2): 117-127.
Yasin, Ismail. 2010. Pencernaan Serat Kasar pada Ternak Unggas. Jurnal Ilmiah Inkoma, Vol 21 (3): 78-88.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar