Sabtu, 25 Februari 2017

Makalah Manajemen Reproduksi dan Produksi Ternak Kelinci



I.                  PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Kelinci adalah hewan mamalia dari famili Leporidae, yang dapat ditemukan di banyak bagian bumi. Dulunya, hewan ini adalah hewan liar yang hidup di Afrika hingga ke daratan Eropa. Pada perkembangannya, tahun 1912, kelinci diklasifikasikan dalam ordo Lagomorpha. Ordo ini dibedakan menjadi dua famili, yakni Ochtonidae (jenis pika yang pandai bersiul) dan Leporidae (termasuk di dalamnya jenis kelinci dan terwelu). Jenis-jenis kelinci. Secara umum, kelinci terbagi menjadi dua jenis. Pertama, kelinci bebas. Kedua, kelinci peliharaan. Yang termasuk dalam kategori kelinci bebas adalah terwelu (Lepus curpaeums) dan kelinci liar (Oryctolagus cuniculus). Menurut rasnya, kelinci terbagi menjadi beberapa jenis, di antaranya Angora, Lyon, American Chinchilla, Dutch, English Spot, Himalayan, dan lain-lain. Di Indonesia banyak terdapat kelinci lokal, yakni jenis kelinci jawa (Lepus negricollis) dan kelici sumatera (Nesolagus net seherischlgel).
Keunggulan komoditas dari ternak kelinci, antara lain: 1) Menghasilkan daging berkualitas dengan kadar lemak yang rendah; 2) Hasil sampingannya (kulit, bulu, kepala, kaki, ekor serta kotoran) dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan; 3) Areal kandang yang dibutuhkan tidak harus luas; 4) Bahan pakan bisa dari hijauan, sisa dapur, dan sisa produk pertanian (sisa sayur, bekatul, ubi-ubian) serta ampas tahu; 5) Harga jual yang menguntungkan; dan 6) Pemeliharaan ternak mudah; serta 7) Produktivitas tinggi dengan  litter size antara 5-12 ekor ternak kelinci setiap partus
Kelinci memiliki karakter selalu siaga pada lingkungan sekelilingnya dan akan bereaksi ageresif untuk menjauhi ancaman yangberada disekitarnya. Mereka mampu melakukan pengamatan terhadap lingkungan dengan jangkauan yang jauh. Sehingga kelinci merupakan hewan yang sangat aktif. Kelinci merupakan salah satu jenis ternak yang mudah dalam pemeliharaanya, di Indonesia terdapat berbagai jenis kelinci, namun sangat sulit mengetahui yang merupakan asal lokal karena banyaknya ternak kelinci yang di datang ke Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan mengapa ternak kelinci tidak begitu populer di tengah masyarakat pada saat ini sehingga dalam perkembanganya ternak kelinci tidaki begitu berkembang dan kebanyakan ternak kelinci hanya digunakan untuk ternak hiasan atau untuk mainan. Indonesia sangat cocok untuk pengembangan ternak kelinci selain mudah dalam perawatannya dan tersedianya sumber makanan kelinci yang cukup juga minat masyarakat yang mulai tumbuh terhadap ternak keinci.

1.2  Rumusan Masalah
1.        Bagaimana keadaan reproduksi pada ternak kelinci?
2.        Penyakit apa saja yang biasa menyarang ternak kelinci?
3.        Bagaimana managemen pakan yang dilakukan pada ternak kelinci?


II. PEMBAHASAN
2.1    KEADAAN REPRODUKSI
Sistem perkawinan pada ternak kelinci dapat dilakukan secara alami maupun dengan inseminasi buatan, biasanya dalam mengawinkan kelinci yang betina dimasukkan pada jantan, bilamana kelinci betina sedang birahi, dan biarkan beberapa hari sampai terjadi kebuntingan yang ditandai bahwa kelinci betina tidak mau menerima lagi pejantan, sehingga kelinci bisa dikawinkan kapan saja, sex ratio antara jantan dan betina adalah 1 : 10, namun perlu diketahui berahi pada kelinci bersifat induksi yang berarti bahawa bila terjadi rangsangan maka akan terjadi ovulasi, dan ovulasi terjadi 10 jam setelah terjadi rangsangan, dan fertilisasai terjadi 1 – 2 jam setelah ovulasi, daya fertil ovum 6 jam, lama bunting rata-rata 30 hari, siklus estrus12 – 14 hari ditambah 4 hari masa menolak, umur dikawinkan 5 – 7 bulan atau tergantung pada type kelinci (Sinaga, 2009).   
Kelinci betina bisa segera dikawinkan ketika mencapai dewasa pada umur 5 bulan (betina dan jantan). Bila terlalu muda kesehatan terganggu dan dan mortalitas anak tinggi. Bila pejantan pertama kali mengawini, sebaiknya kawinkan dengan betina yang sudah pernah beranak. Waktu kawin pagi/sore hari di kandang pejantan dan biarkan hingga terjadi 2 kali perkawinan, setelah itu pejantan dipisahkan (Sarwono, 1985). Sedangkan menurut Wahyudi (2003) Kelinci  betina  harus  sudah dikawinkan ketika mencapai dewasa tubuh.  Kelinci  yang  terlambat dikawinkan  akan  menjadi  sulit perkawinan selanjutnya dan jika terlalu cepat akan menyebabkan mortalitas anak kelinci yang tinggi dan menurunkan kesehatan induk. Dewasa tubuh kelinci betina dicapai pada umur 4 bulan dengan ukuran badan kurang lebih 3 kg. Tanda-tanda kelinci betina yang siap menerima pejantan adalah vulva bengkak dan merah serta siap untuk dikawin.
Pejantan yang digunakan sebaiknya yang telah berumur 5-6 bulan atau telah dewasa tubuh dan kelamin, serta telah berpengalaman mengawini. Rasio jantan dan betina adalah 1:10 ekor. Banyaknya service per conception adalah 1-2 kali. Perkawinan dilaksanakan di kandang pejantan, lebih baik pada pagi hari. Purnama (2000) menambahkan bahwa pubertas pada kelinci bervanasi dan sangat tergantung pads breech". Kelinci jenis kecil mempunyai masa pubertas lebih dini dibandingkan kelinci jenis besar. Kelinci betina lebih dulu mengalami pubertas dibandingkan kelincijantan. Dewasa kelamin pada kelinci jantan NZW dicapai pada umur 6 bulan. Kelinci jantan mencapai dewasa kelamin pada umur 4-8 bulan, tergantung pada bangsa dan tingkat makanan . Meskipun spermatozoa motil terlihat pada ejakulat pertama umur 4 bulan tetapi spermatozoa yang mempunyai fertilitas baik diperoleh pada umur 7-8 bulan. Survey pada peternakan rakyat di Jawa bahwa sebagian besar peternak mengawinkan pertama kali kelinci jantan pada Umur 8 bulan, sedangkan kelinci betina pada umur 6 bulan.
Tanda perkawinan yang berhasil adalah pejantan terjatuh dan betina menjerit. Ovulasi akan terjadi 8 jam setelah perkawinan. Kebuntingan pada kelinci dapat dideteksi dengan meraba perut kelinci betina 12-14 hari setelah perkawinan, bila terasa ada bola-bola kecil berarti terjadi kebuntingan. Lama kebuntingan yang panjang terlihat bila jumlah anak yang dilahirkan sedikit dan mempunyai berat lebih dari 100 gram, sebaliknya jumlah anak yang banyak menjadikan lama kebuntingan lebih pendek . Lama kebuntingan induk kelinci pada peternakan di Jawa bervariasi antara 29 - 36 hari dengan rata-rata 30 hari (Purnama, 2000).  Tanda-tanda akan melahirkan adalah gelisah, nafsu makan turun, bulu rontok ( moulting ) dan suka mengerat. Peralatan yang harus disiapkan adalah sarang beranak berbentuk kotak yang ditempatkan di dalam kandang induk Wahyudi (2003). Keberhasilan melahirkan kelinci pun bervariasi, terkadang ada induk yang mengalami keguguran atau abortus. Abortus sering terjadi pada induk yang baru pertama kali bunting, biasanya penyebab yang mungkin terjadi karena induk mengalami stress entah itu karena lingkungannya yang brisik atau gangguan dari yang lain. Sumadia (2000) menambahkan bahwa Kegagalan kebuntingan banyak terjadi pada perkawinan kelinci yang dilakukan dengan suhu lingkungan yang terlalu panas. Cekaman lingkungan yang panas pada pejantan dapat menghambat fertilitas sedangkan pada betina berisiko terjadinya kematian embrio atau terjadinya abortus. Selain itu ada kecendrungan induk kelinci menghasilkan liter size yang rendah sehingga tidak menguntungkan dalam budidaya.
Setelah dilahirkan anak akan mendapatkan asi kondusif sampai umurnya mencapai 45 hari setelah kelahiran kemudian akan disapih. Perlakuan penyapihan ini dilakukan selama 2 bulan sampai si anak akan siap makan makanan yang dia konsumsi sendiri. Umur sapih pada kelinci yaitu 37,83 hari dan tergantung permintaan pembeli atau pedagang perantara. Kelinci dapat dikawinkan lagi 24,9 hari setelah lepas sapih (Fauzi dkk, 2015). Sedangkan dilapangan induk akan dikawinkan lagi pada hari ke 30 setelah ia melahirkan dengan calving interval selama 7 hari, walaupun masih menyusui tetapi sudah bisa dikawinkan. Harapannya adalah ketika anak-anaknya sudah lepas asi induk sudah bunting kembali.

2.2  MANAJEMEN KESEHATAN TERNAK
Penyakit yang biasa menyerang ternak kelincinya adalah scabies. Umumnya penyakit ini juga dikenal dengan nama kudis. Scabies adalah penyakit kulit yang sering dijumpai pada ternak di Indonesia dan cenderung sulit disembuhkan. Penyakit ini disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei yang ditandai dengan gejala klinis gatal pada kulit. Parasit S. scabiei adalah ektoparasit yang menyerang hewan terutama pada bagian kulit yang dapat menurunkan produksi daging, kualitas kulit, dan mengganggu kesehatan masyarakat. Semua hewan ternak dapat terserang penyakit ini pada seluruh tubuh, namun predileksi serangan scabies pada tiap-tiap hewan berbeda-beda, pada kerbau di punggung, paha, leher, muka, daun telinga. Pada kelinci disekitar mata, hidung, jari kaki kemudian meluas ke seluruh tubuh (Pasaribu, 2014). Penanganan yang dapat dilakukan pada kelinci yang mengalami penyakit scabies adalah dengan cara mengobatinya menggunakan obat. Pemakaian  obat-obatan  untuk  scabies umumnya dengan akarisida seperti benzene hexa chlorida (BHC), Coumaphous dan ivermectin dapat juga belerang, olie bekas dan ketepeng .  Aplikasi  obat  dilakukan  melalui perendaman (Dipping), disikat (Brushing), penyemprotan (Spraying), oral dan parenteral (Ahmad, 2008). 
Iskandar (2005) menambahkan kudis pada kelinci umumnya disebabkan oleh tungau Psoroptes cuniculi, Chorioptes cuniculi, Notoedres cati, dan Sarcoptes scabiei, juga  kutu  Haemodipsus  ventricosus. Berdasarkan lokasi, penyebab, dan tanda-tanda klinis dibedakan: Kudis pada liang telinga Penyebabnya adalah tungau Psoroptes cuniculi dan atau Chorioptes cuniculi . Tungau ini memulai serangannya di dasar rambut liang telinga,  parasit mengisap  cairan  kulit, membentuk lepuh-lepuh berisi cairan yang apabila pecah menimbulkan kegatalan. Dengan tanda-tanda klinis kelinci selalu menggoyang- goyangkan kepala, menggaruk-garuk daun telinga mengakibatkan lepuh akan pecah, sering disertai infeksi sekunder lama kelamaan timbul  keropeng-keropeng  hal  ini  dapat menyumbat liang telinga bila dibiarkan akan menimbulkan  meningitis  ditandai  dengan kepala berputar (torticolis), gerak-gerakannya tidak terkontrol (ataxia) dan akhirnya mati. Penyakit ini dilaporkan Manurung et al (1986) tetapi mendapat infeksi campuran dengan Notoedres cati di Bogor.

2.3  MANAJEMEN PAKAN TERNAK
Pemeliharaan ternak kelinci secara tradisional dapat dilakukan dengan pemberian berbagai jenis leguminosa dan rumput-rumputan. Disamping itu dengan memanfaatkan sisa – sisa dari sayuran dan pemberian pakan tambahan berupa dedak padi, ampas tahu, pollard mampu meningkatkan produktivitas kelinci. Pemeliharaan secara intensif dengan menggunakan ransum komplit yang merupakan campuran dari bahan seperti jagung, bungkil kedelai, bungkil kelapa, dedak padi, pollard, vitamin – mineral, kapur dan garam mampu meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi dalam penggunaan pakan (Budiarti, 2014). Pakan yang diberikan kepada kelinci berupa hijauan yang didapatkan dari sekitar kandang berupa rumput bandotan, daun papaya dan daun pisang. Pakan kelinci sebagian besar terdiri dari hijauan, salah satunya adalah rumput lapang. Tetapi pemberian rumput lapangan saja tidak cukup, karena kadar protein yang terkandung dalam rumput lapang tidak memadai yaitu hanya sebesar 6,7% (Sumoprastowo, 1985). Oleh karena itu perlu dikombinasi dengan bahan lainnya. Menurut Sugeng (1993), menyatakan bahwa protein pada hewan merupakan bagian terpenting dari bagian tubuh, akan tetapi hewan tidak dapat membuat sendiri protein yang diperlukan, sehingga perlu mendapatkan protein dari bahan pakan.
Pakan diberikan sebanyak  2 kali sehari yakni pada pagi dan sore hari, pakan yang diberikan berupa campuran polard dan onggok sedangkan bungkil di tambahkan apabila kekurangan polard. Kastalani (2013) menambahkan bahwa pemberian bahan pakan yang lainnya sangat penting untuk menunjang bobot badan pada ternak kelinci. Onggok juga mudah dicari pada toko poultry shop. Namun jika kekurangan suatu protein dalam tubuh kelinci maka kelinci tersebut berarti tidak baik. Untuk siang hari disediakan hijauan untuk camilan si ternak. Pakan dan minum diberikan dipagi hari sekitar pukul 10.00. Kelinci diberi pakan dedak yang dicampur sedikit air. Pukul 13.00 diberi rumput sedikit/secukupnya dan pukul 18.00 rumput diberikan dalam jumlah yang lebih banyak. Pemberian air minum perlu disediakan di kandang untuk mencukupi kebutuhan cairan tubuhnya (Kartadisastra, 1995). Jumlah pakan yang di berikan adalah 100 gram / ekor / hari, sedangkan untuk induk yang menyusui 150 gram / ekor / hari.

III. KESIMPULAN DAN SARAN
1.1    Kesimpulan
1.        Kelinci dapat dikawinkan secara alami ataupun dengan cara inseminasi buatan (IB).  Kelinci sudah mulai bisa dikawinkan pada umur 5 bulan.
2.        Penyakit yang biasanya menyerang kelinci adalah scabies atau kudis yang disebabkan oleh parasit S. scabiei.
3.         Pakan yang diberikan ke kelinci bisa berupa rerumputan dan ditambah dengan polard, bungkil, mineral dan vitamin.

1.2    Saran
1.        Dalam pelaksanaan praktikum perlu ditingkatkan lagi pengawasan dari asisten
2.        Untuk praktikan lebih teratur lagi dalam melaksanakan praktikum karena prakttikum dilakukan bukan di area fakultas
 
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad. R. Z. 2008. Lethal Time 50 Cendawan Beauveria Bassiana dan Metarhizium Anisopliae Terhadap Sarcoptes Scabiei (Lethal Time 50 of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae Fungy on Sarcoptes scabiei). Bogor.

Budiari, N. L. G. 2014. Pengaruh Aras Kulit Kopi Terfermentasi dalam Ransum Terhadap Pertumbuhan Kelinci Lokal Jantan (Lepus negricollis). Tesis. Program Magister Program Studi Ilmu Peternakan Program Pascasarjana Universitas Udayana. Bali

Fauzi, dkk. 2015. Performance Reproduction of Rabit in Bumiaji Sub-District Batu City. Lecturer at Faculty of Animal Husbandry, University of Brawijaya, Malang.

Iskandar, Tolibin. 2005. Beberapa Penyakit Penting pada Kelinci di Indonesia. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor

Kartadisastra. HR, 1995, Beternak Kelinci Unggul, Kanisius, Yogyakarta.

Kastalani. 2013. Pemberian Rumput Lapangan dan Daun Lamtoro Gung Terhadap Pertambahan Bobot Bada dan Bobot Badan Akhir Kelinci Lokasi Jaantan (Erictolagus cuniculus). Jurnal Ilmu Hewani Tropika. Vol. 2, No. 1.

Pasaribu, eskayanti. 2014.Scabiosis.Laporan Kasus Mandiri Koasistensi Magang II di Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih - Sumatra Utara

Purnama, R. D. 2000. POLA REPRODUKSI PADA TERNAK KELINCI. Teknis Fangsional non Peneliti

Sarwono. B, 1985, Beternak Kelinci Unggul, Penebar Swadaya, Jakarta.

Sinaga. 2009. Pemeliharaan dan Perawatan Kelinci. Agro Media Pustaka: Jakarta.

Sugeng, Y.B. 1993. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta.

Sumoprastowo. 1985. Beternak Kelinci Idaman. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

Wahyudi, A. 2003. Strategi Pengembangan  Agribisnis Komoditas Ternak Kelinci di Daerah Wisata  Malang. Jurnal Edukasi Vol 1 No. 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar