I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ruminansia merupakan
binatang berkuku genap subordo dari ordo Artiodactyla disebut juga mammalia berkuku. Nama
ruminan berasal dari bahasa Latin "ruminare" yang artinya mengunyah kembali atau
memamah biak, sehingga dalam bahasa Indonesia dikenal dengan hewan memamah
biak. Hewan ruminansia umumnya herbivora atau pemakan tanaman, sehingga
sebagian besar makanannya adalah selulose, hemiselulose dan bahkan lignin yang
semuanya dikategorikan sebagai serat kasar. Hewan ini disebut juga hewan
berlambung jamak atau polygastric
animal, karena lambungnya terdiri atas rumen, retikulum, omasum dan abomasum.
Rumen merupakan bagian terbesar dan terpenting dalam mencerna serat kasar,
sehingga karena pentingnya rumen dalam prosespencernaan ruminansia, maka timbul
pelajaran khusus yang disebut ruminologi. Pencernaan pada ruminansia terjadi
secara mekanik, fermentatif dan enzimatik. Pencernaan mekanik melibatkan organ
seperti gigi (dentis). Pencernaan fermentatif terjadi dengan bantuan mikroba
(bakteri, ptotozoa, dan fungi). Pencernaan enzimatik melibatkan enzim
pencernaan untuk mencerna pakan yang masuk.
Sistem pencernaan
(tractus digestivus) terdiri atas suatu saluran muskulo membranosa yang
terentang dari mulut sampai ke anus. Fungsinya adalah memasukan makanan,
menggiling, mencerna dan menyerap makanan serta mengeluarkan buangannya yang
berbentuk padat. Sistem pencernaan mengubah zat-zat hara yang terdapat dalam
makanan menjadi senyawa yang lebih sederhana hingga dapat diserap dan digunakan
sebagai energi, membangun senyawa-senyawa lain untuk kepentingan metabolisme.
Pencernaan merupakan rangkaian proses yang terjadi dalam saluran pencernaan
sampai memungkinkan terjadinya penyerapan.
Perut
sejati pada sistem pencernaan ruminansia
diawali oleh tiga bagian
perut atau divertikula (diselaputi oleh epitel-epitel squamous berstrata),
dimana makanan dicerna oleh mikroorganisme sebelum bergerak ke saluran
pencernaan berikutnya. Rumen,
retikulum, dan omasum pada ruminansia, secara bersama-sama disebut perut depan (forestomach atau proventrikulus).
Bagian-bagian sistem pencernaan adalah mulut, oesophagus, forestomach (rumen,
retikulum, omasum, abomasum), usus halus, usus besar, anus. Sehingga sangat perlu untuk mengetahui dan mempelajari
anatomi dan fisiologi pencernaan, supaya dapat juga mengetahui
kelainan-kelainan pada saluran pencernaan dan mengobati dan mencegahnya.
1.2
Rumusan
Masalah
1. Apa dan bagaimana fungsi sistem pencernaan?
2. Bagaimana
anatomi sistem pencernaan
sapi perah?
3. Bagaimana
bagian-bagian sistem pencernaan sapi perah?
4. Bagaiman
proses pencernaan sapi perah?
5. Bagaimana kelainan penyakit pada rumen?
1.3
Tujuan
1. Memahami pengertian dan fungsi sistem pencernaan?
2. Memahami anatomi sistem pencernaan sapi perah?
3. Memahami bagian-bagian sistem
pencernaan sapi perah?
4. Memahami proses pencernaan sapi perah?
5. Memahami kelainan penyakit pada rumen?
II. TINJAUAN PUSTAKA
Ternak ruminansia seperti sapi, domba dan kambing
sangat bergantung pada aktivitas degradasi mikroba rumen. Rumen menyediakan
lingkungan yang memungkinkan berkembang dan beraktivitasnya mikroba. pH pada
sebagian besar tempat dalam rumen adalah 5,5-7. Proses pencernaan dalam rumen
merupakan gabungan antara proses mekanik, proses enzimatik dan proses
fermentasi dengan bantuan mikroorganisme rumen. Pemberian bakteri asam laktat
sebagai probiotik pada ternak ruminansia pada umumnya dilakukan pada ternak muda dan jarang dilakukan
pada ternak dewasa (Asmarasari,
2006).
Proses pencernaan dimulai dari tahap merenggut rumput dengan gigi seri dan
ditelan untuk sementara disimpan dalam
rumen. Makanan yang berada dalam rumen dan retikulum akan dicerna oleh sejumlah
jasad renik yang secara normal ada dalam lambung sapi. Pakan yang telah ditelan
dimuntahkan kembali melalui proses regurgitasi dan kemudian dikunyah serta
dicampur dengan ludah sewaktu sapi tersebut dalam keadaan istirahat. Makanan
yang telah dikunyah kembali secara fisik dan berubah kondisinya menjadi lebih
lumat selanjutnya menuju rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Sistem
pencernaan pada sapi atau ruminansia lainnya agak rumit dibandingkan dengan
hewan mamalia lainnya. Lambung sapi merupakan lambung yang kompleks terdiri
dari empat bagian yaitu paling depan disebut rumen, kemudian retikulum, omasum
dan terakhir disebut abomasum yang berhubungan dengan usus (Wijaya, 2008).
Pencernaan yang baik
disertai pakan yang baik akan meningkatkan produksi susu. Saat ini kebutuhan
susu di Indonesia 70% dipenuhi dengan jalan impor. Luthan (2012) menyatakan
pada tahun 2012 produksi susu sebanyak 1.208.000 ton, sedangkan permintaan susu
dalam negeri yang mencapai angka 3.120.000 ton. Hal ini dapat menjadi acuan
peternak lokal untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas susu yang dihasikan
ternak mereka. Merujuk pada kesempatan besar sekitar 70% pasar yang bisa
diambil, maka pencernaan ternak wajib menjadi fokus utama. Susu merupakan hasil produksi ternak yang berasal
dari pakan yang diproses melalui sistem pencernaan.
Perbedaan level
pemberian daun jati pada feses sapi dan feses kuda menunjukkan semakin
bertambahnya level pemberian daun jati, dapat menurunkan volume produksi
biogas. Penurunan yang sangat nyata terjadi pada biogas menggunakan feses kuda
dengan penambahan daun jati sebesar 10%. Berdasarkan data di atas dapat dilihat
bahwa terjadi kenaikan pada hari ke 10, 20, 30, dan 40. Pada biogas dengan
substrat feses sapi dan feses kuda terjadi kenaikan yang nyata pada hari ke 30
dan 40 sedangkan pada hari ke 20 kenaikan yang terjadi tidak nyata. Lebih
tingginya volume biogas yang dihasilkan dari substrat kuda daripada substrat
sapi dapat disebabkan karena perbedaan sistem pencernaan antara sapi dan kuda
mengakibatkan kandungan bahan organik dalam feses kuda lebih tinggi daripada
bahan organik dalam feses sapi (Windyasmara, 2012).
Penyakit yang sering diabaikan oleh peternak adalah
penyakit yang disebabkan oleh parasit cacing. Dari segi perhitungan ekonomi,
penyakit pada sapi yang diakibatkan oleh parasit cacing mengakibatkan kerugian
yang sangat tinggi bagi peternak. Infeksi cacing pada saluran pencernaan sapi
mengakibatkan gangguan pencernaan sapi dan terjadi kompetisi dalam penyerapan
nutrisi makanan sehingga pertumbuhan sapi akan terhambat (Agustina, 2013).
III. PEMBAHASAN
3.1 Pengertian
dan Fungsi Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan
terdiri dari saluran pencernaan yang dilengkapi dengan beberapa organ yang
bertanggung jawab terhadap pengambilan, penerimaan, pencernaan dan absorbsi zat
makanan. Perjalanan pakan yang dimakan oleh hewan ruminansia melewati
organ-organ pencernaan yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda,
dimulai dari mulut, oesophagus,
rumen, retikulum, kembali lagi ke mulut, retikulum, omasum, abomasum, usus
halus, usus besar dan anus. Fungsi utama dari saluran pencernaan adalah mengubah bahan pakan yang
dikonsumsi oleh ternak ke dalam senyawa kimia yang dapat diserap ke dalam
pembuluh darah untuk digunakan sebagai zat-zat makanan bagi jaringan di dalam
tubuh. Saluran pencernaan juga sebagai tempat pengeluaran sisa -sisa
metabolisme jaringan dan bahan pakan yang tidak tercerna (Pratiwi, dkk., 2007).
Hewan
ruminansia (pemamah biak; seperti sapi, kambing, dll.) memiliki sistem
pencernaan yang rumit dibanding herbivora lainnya. Kerumitan ini terletak pada
lambung yang memiliki empat ruang. Kerumitan sistem pencernaan ini merupakan
adaptasi pada kelompok herbivora seperti pada ruminansia. Tumbuhan lebih sulit
dicerna dibanding daging hewan, halini karena sel tumbuhan dilindungi oleh
dinding sel yang tinggi akan selulosa sehingga butuh alat yang lebih kompleks
untuk dapat menyerap nutrisi dari tumbuhan. Sama seperti pada manusia,
pencernaan akan melalui tahap-tahap: ingesti-digesti-absorpsi-eliminasi melalui
pencernaan mekanik dan kimiawi
(Campbell, dkk., 2009).
3.2 Anatomi
Sistem Pencernaan
Sapi Perah
|
||||
|
(Kusnadi,
2011)
3.3 Bagian-Bagian
Sistem Pencernaan Sapi
Perah
A.
Mulut
Mulut adalah alat pengambil dan tempat mengunyah
makanan. Pengunyahan dibantu gigi polar sehingga terjadi pencernaan secara
mekanik (Koddang, 2008). Rongga mulut terdapat tiga alat pelengkap pencernaan
yaitu gigi (dentes),
lidah (lingua),
glandula salivarius. Berbeda
dengan hewan lain ternak perah termasuk ternak ruminansia pada maksila terdapat tiga
gigi seri dan gigi taring, sehingga pada proses pengambilan pakan tergantung pada lingua,
labia ,dan dentes pada mandibula.
Organ-organ aksesori yang ada di mulut antara lain :
Dentes
berdasarkan tumbuhnya dibagi menjadi dentes decidui dan dentes
permanent. Dentes berdasarkan letak dan bentuknya : dentes incisive
(terletak di muka dan tubuh pada premaksila dan mandibula), dentes canini
(terletak pada spatium interal veolaris), dentes premolaris dan molaris
(terletak pada sisi dari arcus dentalis) (Astuti, 2002).
B.
Oesophagus
Oeshophagus
merupakan lubang yang menghubungkan pharynx dengan lambung panjangnya
sekitar 125-150 cm pada sapi. Bolus
pada pakan yang dibentuk di dalam rongga mulut dapat berjalan melalui
oeshophagus karena adanya gerakan
anti peristaltic dari oeshophagus. Lubang terakhir dari oeshophagus disebut
cardia. Esophagus merupakan suatu
saluran yang terdiri dari otot berwarna merah yang dilapisi selaput lendir.
Esophagus merupakan saluran penghubung mulut dengan lambung sapi perah yang
terdiri dari rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Dalam oesophagus pakan mengalami degluitasi
atau penelanan (Istidamah, 2006).
C.
Rumen
|
Semakin banyak ingesta
yang terekspos pada pailae tersebut untuk tumbuh sehingga akan menjadi semakin
besar dan panjang. Perlu diketahui bahwa pada pilar-pilar rumen tersebut
papilaenya lebih sedikit yang dikarenakan fungsi pilar tersebut untuk kontraksi
sehingga kontak dan penyerapannya lebih sedikit. Bagian rumen yang ada maka
caudal adalah bagian yang paling sedikit terdapat papilaenya. Rumen untuk
ternak yang sudah dewasa menempati kurang lebih 80-86% dari seluruh lambung
yang mempunyai fungi sebagai berikut :
1. Menyiapakan
bahan pakan untuk seterusnya dicerna dalam saluran pencernaan.
2. Lokasi
proses fermentasi nutrien/zat makanan akan mementukan spesifikasi dari rumen
itu sendiri.
3. Proses
pencampuran dari ingesta (bahan makanan yang telah dicerna).
4. Tempat
terjadinya proses absorbsi dari hasil akhir fermentasi yang mekanisme
absorbsinya untuk masing-masing asam lemak akan berbeda
(Nuswantara, 2002).
Penyerapan asam lemak
tidak terjadi ditempat lain kecuali adanya suatu hal yang khusus, misalnya
adalah proses fermentasi dalam rumen tersebut cepat sedangkan absorbsinya tidak
sempurna sehingga sebagian dari asam lemak tersebut ikut ke dalam bagian
lambung lain seperti retikulum dan sebagainya. Berdasarkan fisiologinya
pencernaan ruminansia mampu mensintesis nutrien dari pakan kasar serta dibantu
dengan kontribusi asam amino dari mikroba yang berkembang biak dalam rumen.
Oleh karena itu dalam formulasi pakan ternak ruminansia dapat dikonsentrasikan
pada pemenuhan kebutuhan nutrien berdasarkan profil dan karakter nutrien
komponen pakan terutama untuk bahan kering, protein tercerna, energi metabolis,
vitamin, dan mineral (Prawirodigdo, 2008)
D.
Retikulum
|
Secara fisik retikulum
tidak terpisah dari rumen tetapi secara anatomi berbeda. Retikulum merupakan
bagian terkecil dari keempat lambung ternak perah. Terletak berhadapan antara
costae ke 6 sampai ke 8 atau ke 9 merupakan jalan antara rumen dan omasum,
dimana pada retikulum terdapat lipatan-lipatan oeshophagus yang merupakan
jaringan yang langsung dari oeshophagus menuju omasum. Bagian dalam retikulum
terdiri papillae-papilae yang berbentuk seperti rumah tawon. Nuswantara (2002)
menyatakan bagian yang kedua dari lambung depan adalah retikulum, lambung
bagian ini juga berpapilae yang berlainan bentuk dengan papilae pada rumen.
Bentuk papilaenya lebih spesifik yang berbentuk segi enam seperti sarang lebah.
Retikulum mempunyai fungsi dalam statusnya sebagai saluran pencernaan terutama
lambung bagian kedua yaitu :
a. Menyebarluaskan
makanan yang dicerna kembali menuju rumen karena tidak adanya klep yang
membatasi anatara rumen dan retikulum. Umumnya bagian pakan yang kasar seperti
hijauan, konsentrat yang dalam keadaan masih masif sehingga belum sempat
tercerna akan kembali ke rumen. Selain itu meluruskan jalan ingesta kebagian
yang berikutnya atau omasum yang telah
dicerna atau berupa cairan.
b. Membantu
dalam proses ruminasi terutama pada pross regurgitasi dapat dilihat dari
motilitas lambung dimana retikulum dan rumen berperan dalam proses ruminasi.
c. Merupakan
lokasi untuk mencerna pakan yang masih belum sempat dicerna di rumen.
d. Ikut
mengatur arus bahan pakan dan materi pakan/ingesta dari retikulo rumen ke
lubang retikul omasum.
e. Merupakan
tempat terkumpulnya benda-benda asing.
f. Tempat
absorbsi hasil akhir fermentasi seperti VFA yang belum sempat diabsorbsi di
dalam retikulum, demikian juga terjadi absorbsi air dan amonia.
Proporsi
retikulum dalam lambung adalah 5 %. Lokasi retikulum yang persis dibelakang
diagframa menempatkannya hampir dalam posisi yang berlawanan dengan jantung sehingga bila ada
benda-benda asing yang tertelan seperti kawat atau paku cenderung akan diam
diretikulum.
E.
Omasum
|
Omasum terletak disebelah kanan rumen dan retikulum
persis pada posisi caudal hati dasar omasum seperti juga halnya lembaran atau
lipatan (Frandson, 2002).
Menurut Nuswantara (2002), omasum merupakan lambung depan terakhir yang
dimiliki oleh ternak ruminansia. Perut bagian tersebut masih tergolong perut
semu karena belum mensekresikan getah pencernaan. Omasum berbentuk seperti
lembaran-lembaran atau lipatan yang
disebut dengan laminae. Penghubung antara omasum dan reticulum terdapat saluran
yang disebut reticulo omasicum.
Poporsi omasum pada lambung adalah 7-8 %. Perut bagian ini sering disebut juga
dengan perut buku-buku. Lambung bagian omasum ini mempunyai fungsi sebagai
berikut :
1. Mengatur
arus ingesta (bahan makanan yang telah dicerna) ke abomasum lewat lubang yang
ada antara omasum dan abomasum yang disebut dengan omasal-abomasal orificae.
Setelah masuk maka ingesta tersebut didorong masuk ke dalam abomasum.
2. Omasum
juga mencerna ingesta (bagian dalam terdapat lamine) sehingga ingesta yang ada
dalam omasum tersebut seolah-olah tergilas di lamine tersebut.
3. Penyaring
dengan adanya lamine pada bagian ini maka ingesta yang lebih besar akan
tertinggal dalam omasum sedangkan ingesta yang lebih kecil akan diteruskan ke
abomasum.
4. Omasum
juga merupakan tempat absorbsi produk akhir fermentasi seperti air sehingga
jika lambung tersebut kita buka banyak terdapat ingesta yang agak kering.
F.
Abomasum
|
Murti (2003) menyatakan bahwa abomasum merupakan
lambung sejati karena bagian ini sudah mulai disekresikan getah pencernaan
seperti HCL dan pepsin. Abomasum ternak ruminansia sama fungsinya dengan
lambung (abomasum ternak non ruminansia). Lambung tersebut dapat dibagi dalam
tiga bagian yaitu cardia, fundus, dan pilorus. Bagian kardia merupakan gland
mucus bagian ini berdekatan dengan omasum, anatara abomasum dan omasum ini
dihubungkan oleh suatu celah yang disebut dengan omase-abomas orificae.
G.
Usus
Halus
Sebagian besar
pencernaan dan absorbsi nutrisi terjadi di dalam usus halus. Proses pencernaan
dibantu oleh kelenjar intestinal yang mengahasilkan mucin berfungsi sebagai
pelicin dan enzim sukrase memecah sukrosa menjadi glukosa, fruktosa, maltase
memecah maltosa menjadi glukose, eripsin memecah bentuk intermediet protein
menjadi asam amino (Yasin, 2010).
Usus halus terbagi
menjadi tiga bagian yaitu duodenum, jejenum, dan illeum. Duodenum merupakan
bagian pertama dari usus halus. Saluran yang berasal dari hati dan saluran
pankreas menyatu dalam duodenum pada jarak yang pendek dibelakang pilorus
(Istidamah, 2006). Jejenum dengan jelas dap at dipisahkan dengan duodenum.
Jejenum bermula dari kira-kira pada posisi dari mesentri mulai kelihatan
memanjang. Jejenum dan ileum itu bersambung dan tidak ada batas yang jelas
diantaranya. Protein yang dikonsumsi tidak seluruhnya dirombak oleh mikroba
rumen, sebagian ada yang lolos dan masuk ke abomasum, terus mengalir ke usus
halus (Tanuwiria, 2007). Bagian terakhir
dari usus halus ada ileum (Frandson, 2002).
Usus halus memiliki fungsi sebagai berikut :
1. Tempat
terjadi pencernaan dan penyerapan karbohidrat dalam bentuk monosakarida.
2. Tempat
terjadinya perombakan peptida-peptida menjadi asam amino bebas dan kemudian diserap.
3. Tempat
terjadinya perombakan lemak menjadi gliserida dan asam lemak bebas (VFA) dan
diabsorbsi.
H.
Usus
Besar
Usus Besar terdiri dari
sekum, kolon, dan rektum. Usus besar tidak menghasilkan enzim karena
kelenjar-kelenjar yang ada adalah mukosa, karenanya tiap pencernaan yang
terjadi di dalamnya adalah sisa-sisa kegiatan oleh enzim-enzim dari usus halus
dan enzim yang dihasilkan oleh jasad-jasad renik yanng banyak terdapat pada
usus besar.
Sekum melakukan
pencernaan fermentatif. Usus besar atau intestinum krassum terdiri dari kolon,
rektum, dan kloaka. Dinding saluran ini banyak mengandung nodus limfatikus.
Fungsi saluran adalah sebagai tempat proses pembusukkan sisa digesti
(pembentukkan feses) dan proses reabsorpsi air dan partikel terlarut di
dalamnya (Campbell, 2003).
Sekum
merupakan suatu kantong buntu dan kolon yang terdiri dari bagian naik, mendatar
dan turun. Bagian yang turun akan berakhir di rektum dan anus (Frandson, 2002). Rectum merupakan lubang tempat
pembuangan feses dari tubuh. Sebelum dibuang lewat anus, feses ditampung
terlebih dahulu pada bagian rectum. Apabila feses sudah siap dibuang maka otot
spinkter rectum mengatur pembukaan dan penutupan anus. Otot spinkter yang
menyusun rektum ada 2, yaitu otot polos dan otot lurik. Retikulum
mengaduk-aduk makanan kemudian dicampur
dengan enzim yang dihasilkan oleh bakteri yang ada, hingga akhirnya menjadi
gumpalan-gumpalan yang masih kasar (bolus). Pengadukan dilakukan oleh kontraksi
otot dinding retikulum. Kemudian, gumpalan makanan tersebut didorong kembali ke
mulut untuk dikunyah lebih sempurna (dimamah kedua kali), sambil beristirahat.
Setelah itu, gumpalan makanan ditelan lagi masuk ke omasum melewati rumen dan reticulum
(Munadi, 2011).
3.4 Proses Pencernaan Sapi Perah
Prehensi
merupakan gerakan pengambilan pakan dari luar masuk ke mulut untuk dikunyah.
Alat-alat yang penting untuk prehensi yaitu : bibir, lidah dan gigi.
1.
Mastikasi
Mastikasi
yaitu proses pengunyahan pakan secara mekanis menjadi bagian-bagian yang lebih
kecil, sebagai kelanjutan pada prehensi. Pengunyahan (mastikasi/cheving) bahan
pakan oleh ternak pada awalnya hanya ringan saja, cukup untuk mencampur bahan
pakan dengan saliva dan membentuk bolus untuk penelanan. Pada mastikasi yang
berrperan adalah gigi. Walaupun ruminansia telah dilengkapi dengan gigi untuk
mengunyah pakan, tetapi biasanya mereka tidak melakukan pengunyahan sewaktu
makan. Bahan-bahan pakan tersebut hanya dicampur dengan saliva. Frekuensi
mastikasi rata-rata 94 kali per menit (Tanuwiria, 2007).
2.
Ensalivasi
Yaitu
pencampuran pakan dengan saliva dan untuk kemudian ditelan dalam bentuk bolus.
Pencampuran ini bertujuan untuk mempermudah penelanan pakan. Nuswantara (2002)
menyatakan saliva yang dikeluarkan ada tipe yaitu mucous yang mengandung mucim,
bentuknya kental sehingga bersifat viscous dan yang kedua adalah serous,
bentuknya cair (Watery) berjumlah
banyak dan mengandung senyawa bikarbonat yang berfungsi membafer (lob viscous).
3.
Degluitasi.
Bolus-bolus
yang terbentuk akan ditelan dan masuk ke dalam rumen bagian interior.
Bolus-bolus rumput kering akan terapung, sedangkan bolus konsentrat karena
lebih berat akan tenggelam. Bolus yang
terjadi di dalam mulut akan ditempelkan diujung lidah, kemudian dibawah keatas
sampai kelangit-langit mulut selanjutnya di bawah kebelakang, akibatnya
epiglotis membuka dan dengan dorongan lidah bolus masuk ke dalam faring.
Setelah masuk faring, terjadi stimulasi pada faring, akibatnya trachea akan
menutup dan dengan dorongan basa lidah, bolus masuk ke esophagus. Dorongan basa
lidah juga diperkuat oleh muskulus faring. Akhirnya bolus secara peristalik
akan masuk ke dalam rumen lewat kardia (Nuswantara, 2002)..
4.
Eruktasi
Eruktasi merupakan gerakan pengeluaran gas CO2 dan CH4 hasil fermentasi rumen lewat
esophagus. Gas tersebut dikeluarkan dari rumen sewaktu rumen distensi, sehingga
tekanan didalam rumen turun, akibatnya gas akan keluar dari bagian dorsal ke
depan (Nuswantara, 2002).
5.
Ruminasi
Nuswantara
(2002) menyatakan ruminasi
merupakan gerakan yang komplek, berurutan dan terkoordinir, yang meliputi
gerakan-gerakan :
a. Regurgitasi
:
Merupakan
pengeluaran kembali pakan yang sudah sedikit dicerna dari rumen kerongga mulut
yang diatur oleh susunan syaraf. Syaraf yang berperan dalam gerakan regurgitasi
adalah muskulus spinter dan muskulus faringeal. Regusgitasi dimulai dari
kontraksi retikulum yang diikuti rumen bagian bawah, akibatnya ingesta akan
dibawa keatas, yang kemudian akan disusul oleh pengembangan rongga dada
berkurang, dengan adanya stimulasi bolus yang bergerak, kardia akan terbuka dan
ingesta didorong masuk esophagus. Adanya gerakan anti peristaktik, ingesta yang
masih kasar akan terdorong masuk kemulut. Setelah ingesta sampai dimulut maka
akan dimastikasi kembali.
b. Remastikasi
:
Adalah
pengunyahan kembali ingesta. Gerakannya biasanya lebih lama dibandingan
mastikasi dan diatur oleh syaraf vagus. Frekuensi remastikasi lebih kurang 55
kali per menit.
c. Reensavilasi
:
Proses reenvilasi, saliva yang
dikeluarkan lebih banyak dari ensalivasi.
d. Redeglutasi
:
Adalah penelanan
kembali pakan langsung ke retikulum.
6.
Usus Halus
Nuswantara
(2002) menyatakan usus
terjadi proses pencernaan akhir, artinya semua zat yang masih bermolekul ganda
atau masih berantai panjang akan dirombak menjadi zat yang labih sederhana yang
umumnya bermolekul tunggal. Zat ini baru akan diabsorbsi dalam usus. Proses ini
jejunum. Doedenum dan ileum mempunyai fungsi yang hampir sama. Sedikit
perbedaan ialah pada jumlah kelenjar yang terdapat didalam bagian usus halus
tersebut. Sepanjang usus halus terdapat banyak kelenjar Brunner yang terletak pada
puncak kelenjar mucosa. Bagian ujung
belakang jejenum, semakin ke belakang semakin jarang, sehingga akhirnya pada
ujung belakang ileum sangat jarang.
7.
Usus Besar
Meskipun
air yang diminum dan air yang terdapat dalam saliva serta caiaran gastrointestinlis sebagian besar telah
diserap dalam usus besar masih banyak mengandung banyak air. Saat bahan makanan
tertentu melewati kolon terjadilah absorbsi cairan. Sehingga apabila beban
makanan tersebut melewati colon dalam wak tu singkat maka kolon tidak sempat
mengabsorbsi cairan lebih banyak dan feses yang keluar nantinya masih banyak
mengandung airnya. Keadaan ini sering disebut diare, sebaliknya sembelit akan
terjadi apabila bahan makanan terlalu lama tinggal di kolon.
8.
Proses Pengeluaran Feses
Sisa hasil
pencernaan akan dikeluarkan menuju rectum dan kemudian dikeluarkan melalui
cloaca.
3.5 Kelainan
Penyakit pada Rumen
a. Diare
Penyakit
mencret atau diare sering menyerang ternak sapi. Biasanya, mencret disebabkan
oleh bakteri Escherichia coli, Clostridium sp, gangguan makanan,
dan udara dingin. Penyakit ini berimplikasi pada gangguan alat pencernaan.
Feses sapi berbentuk encer, terus menerus, dan berbau busuk. Kondisi tubuh sapi
lemas. Kotoran yang keluar berwarna hijau muda atau kuning kehijauan. Gangguan
diare dapat menyebabkan penurunan bobot badan ternak (Yulianto dan Cahyo,
2011). Diare sangat berakibat fatal bagi pedet, karena dapat menimbulkan
kematian (Purbowati, 2012).
Diare
dapat dicegah dengan pemberian pakan berkualitas secara teratur kepada sapi,
menjaga kebersihan kandang, memberikan vitamin A dan D, dan mengisolasi pedet
atau sapi yang terserang diare (Fikar dan Dadi, 2012). Menurut Fikar dan Dadi
(2012) pengobatan dapat dilakukan dengan 3 cara, 1). Jika diare disebabkan oleh
kondisi pakan yang jelek, maka harus dilakukan penggantian pakan dengan pakan
yang lebih berkualitas; 2). Jika diare disebabkan oleh infeksi kuman E. Coli,
segera obati dengan memberikan antibiotik sesuai aturan pakai; 3). Jika
penyakit diare disebabkan oleh protozoa, obati sapi dengan memberika sulfa
quinoxalin. Hindari pemberian pakan berupa daun muda atau kacang kacangan dan
diobati dengan oralit arang aktif/norit (Purbowati, 2012).
b.
Asidosis
Asidosis adalah suatu
kondisi patologis yang berhubungan dengan akumulasi asam atau menipisnya
cadangan basa dalam darah dan jaringan tubuh, dan ditandai dengan konsentrasi
ion hidrogen yang meningkat. Asidosis metabolik pada hewan ruminansia
dapat terjadi pada sapi potong maupun sapi perah yang diberikan pakan yang
mengandung karbohidrat yang mudah di fermentasi (Greenwood dan McBride, 2010).
Menurut Nagaraja dan Titgemeyer (2006) menyatakan bahwa retikulorumen merupakan organ pencernaan pada ruminansia yang
memiliki ekosistem mikroba anaerobik. Mikroba dalam rumen melakukan proses
pencernaan dengan fermentasi, substrat akan dirubah menjadi asam organik.
Masuknya substrat dalam jumlah yang normal serta proses penyerapan yang baik
akan menciptakan pH rumen yang stabil yaitu berkisar 5,8 – 6, 8. Pada
keadaan asidosis pH rumen biasanya dibawah 5,5.
Kejadian
asidosis metabolik pada ruminansia terjadi karena adanya konsumsi karbohidrat
yang mudah difermentasi secara berlebihan. Hal ini biasanya terjadi pada saat
pemberian pakan dari biji-bijian. Biji-bijian seperti gandum dan jagung
merupakan jenis pakan yang mangandung karbohidrat yang mudah difermentasi
sehingga dapat menyebabkan kejadian asidosis. Pakan yang dikonsumsi oleh hewan
ruminansia akan masuk kedalam rumen dan melewati tahap fermentasi oleh bakteri.
Bakteri rumen akan merespon adanya peningkatan kandungan karbohidrat yang
mudah dicerna dengan peningkatan aktivitas. Adanya peningkatan aktivitas
bakteri rumen menyebabkan senyawa kimia yang dihasilkan juga meningkat seperti
VFA dan laktat sehingga memungkinkan tejadinya asidosis rumen. Beberapa bakteri
yang berperan adalah Bifidobacterium, Butyrivibrio, Eubacterium,
Lactobacillus, Mitsuokella, Prevotella, Ruminobacter,
Selenomonas, Streptococcus, Succinimonas, dan Succinivibrio
(Nagaraja dan Titgemeyer, 2006).
Menurut
Greenwood dan McBride (2010) menyatakan bahwa pada kondisi asidosis, ruminansia
akan melaksanakan mekanisme peningkatan sintesa glutamine sehingga menyebabkan
adanya peningkatan konsentrasi glutamine dalam plasma. Walaupun demikian pada
kasus asidosis kronis, akan terjadi penurunan konsentrasi glutamine, hal ini
disebabkan oleh penggunaan glutamine yang berlebihan saat awal kejadian
asidosis. Glutamine adalah satu dari 20 asam amino yang memiliki rantai samping
amida. glutamine dianggap sebagai molekul penyimpan NH+ di dalam
otot dan transportasi antar organ bagi senyawa tersebut. Meskipun
kadar glutamina di dalam protein otot hanya sekitar 4% dibandingkan dengan
jumlah seluruh asam amino yang terkadung dalam protein tersebut, otot dalam
mengandung lebih dari 40% glutamina dan plasma darah mengandung lebih dari 20%.
Adanya sintesis glutamine dalam kasus asidosis yang berlebihan memungkinkan
adanya pengambilan glutamine dari otot melalui mekanisme proteolisis otot. Pada
ruminansia proses proteolisis otot tidak terjadi walaupun demikian dalam plasma
tetap ditemukan adanya peningkatan konsentrasi glutamine.
Tanda
asidosis yang paling nyata terdapat pada asidosis akut. Tanda-tanda klinis
sangat bervariasi, tetapi biasanya menjadi jelas 12-36 jam setelah engorgement
gandum. Dalam bentuk akut, acidosis yang cukup parah adalah pelemahan dari
fungsi faali. Tanda paling awal adalah kelesuan. Berhentinya gerak ruminal
adalah indikasi yang sangat kuat terjadinya acidotic karena hal diakibatkan
oleh konsentrasi tinggi dari Asam susu dan VFA, khususnya butirat. Kotoran
awalnya pekat kemudian menjadi berair dan sering berbusa, dengan bau pengap.
Dehidrasi akan berkembang dalam waktu 24 hingga 48 jam. Hewan yang sembuh dapat
meninggalkan rumenitis, laminitis, atau pembengkakan hati; masalah ini akan tercermin
pada penurunan kinerja. Binatang mengalami asidosis substat jarang menunjukkan
tanda-tanda klinis (Greenwood dan McBride,
2010).
Pengendalian
asidosis cukup dipengaruhi oleh manajemen nutrisi. Evaluasi tentang
manajemen nutrisi adalah langkah pertama dalam mengendalikan asidosis. Salah
satu strategi untuk meminimalkan risiko yang berkaitan dengan pakan yang tinggi
tingkat fermentasinya (gandum, barley, jagung, dan sebagainya) adalah mencampur
pakan dengan fermentasi tinggi dengan bahan-bahan yang lebih rendah tingkat
fermentasi patinya. Efisiensi pada kombinasi pakan, lebih baik dibandingkan
dengan menggunakan satu pakan (Owens, dkk., 2000).
Umumnya, hijauan
ditambahkan ke pakan finishing untuk mengendalikan asidosis. Dengan adanya
pemberian hijauan dengan bahan kasar yang tinggi dapat menjaga integritas dari
papila rumen. Papila rumen yang normal memiliki ukuran permukaan
mukosa yang lebih luas sehingga proses absorbsi dan pencernaan makanan
akan menjadi lebih baik. Selain dengan manajemen nutrisi, kasus asidosis
juga dapat diatasi dengan pemberian pakan aditif yang dapat menghambat
pembentukan mikroba yang menghasilkan laktat. Pemberian beberapa jenis bakteri
tertentu, mencegah adanya pembentukan glukosa dan asam laktat yang berlebihan
sehingga kejadian asidosis dapat di hindari (Owens, dkk., 2000).
c.
Bloat
Bloat atau tympani merupakan penyakit alat pencernaan yang disertai
penimbunan gas dalam lambung akibat proses fermentasi berjalan cepat.
Pembesaran rumenoretikulum oleh gas yang terbentuk, bisa dalam bentuk busa persisten yang bercampur
isi rumen (kembung primer) dan gas bebas yang terpisah dari ingesta (kembung
sekunder). Bloat atau kembung perut yang diderita sapi, dapat menyebabkan
kematian karena struktur organ sapi yang unik. Dimana pada sapi, jantungnya
terletak disebelah kanan perut, bukan dibagian dada seperti halnya manusia. Hal
tersebut akhirnya menyebabkan jantung sapi terhimpit oleh angin dan asam
lambung saat menderita kembung. Karena kembung yang terjadi, mendesak dan
mengakibatkan perut sapi membesar kesamping. Kematian pada sapi yang menderita
kembung perut, biasanya rentan terjadi karena ketidaktahuan dan salah
penanganan oleh peternak. Saat sapi mengalami kelumpuhan dengan perut yang
kembung, banyak peternak yang memposisikan sapi mereka telentang. Hal itu
menyebabkan, jantung sapi terhimpit dengan lebih cepat. Namun penyakit kembung
perut tidak membahayakan atau menular kepada binatang lain atau manusia, daging
sapi yang terserang penyakit inipun masih aman untuk dikonsumsi (Sitepoe,
2008).
Kembung merupakan akibat
mengkonsumsi pakan yang mudah menimbulkan gas di dalam rumen. Kondisi rumen
yang terlalu penuh dan padat yang berujung menurunkan gerakan rumen dan
menurunkan derajat keasaman dari rumen. Pakan hijauan yang masih muda dapat
memicu timbulnya bloat, selain itu tanaman kacang-kacangan juga memicu timbulnya
kembung (Sitepoe, 2008).
IV. PENUTUP
4.1
Kesimpulan
a. Sistem
pencernaan terdiri dari saluran pencernaan yang dilengkapi dengan beberapa
organ yang bertanggung jawab terhadap pengambilan, penerimaan, pencernaan dan
absorbsi zat makanan. Pencernaan pada ruminansia dimulai dari mulut, esofagus,
rumen, retikulum, kembali lagi ke mulut, retikulum, omasum, abomasum, usus
halus, usus besar dan anus.
b. Proses
pencernaan pada rumen adalah pencernaan protein, polisakarida, dan fermentasi
selulosa oleh enzim selulase yang dihasilkan oleh bakteri dan protozoa
tertentu. Setelah dari rumen, makanan akan diteruskan ke retikulum dan di tempat ini makanan akan
dibentuk menjadi gumpalan-gumpalan yang masih kasar disebut bolus.
c. Proses
ruminasi hanya terjadi pada hewan rumunansia, dimana bahan makanan akan
dimuntahkan kembali kemulut dari retikumum untuk di kunyah lagi dan ditelan
kembali.
d. Penyakit
metabolik pada pencernaan ruminansia adalah Milk fever dan mastitis.
e. Milk
fever adalah penyakit penting akibat gangguan makromineral pada sapi-sapi
periode periparturien yang menyebabkan konsentrasi kalsium darahnya turun dan
menyebabkan gangguan peran fungsi kalsium termasuk kontraksi otot.
f. Mastitis
menyebabkan penurunan kualitas susu dari segi kandungan susu yang rusak akibat
bakteri.
4.2
Saran
a.
Praktikum
laboratorium sudah berjalan baik, namun lebih baik lagi jika saat praktikum
laboratorium semua praktikan diberikan kesempatan untuk memegang preparat
secara langsung.
b. Praktikum kandang sudah baik, namun lebih baik lagi jika kambing
yang digunakan tidak terlalu stress sehingga mudah dalam pengukuran badan.
|
Agustina, K.K.,
A.A.G.O. Dharmayudha dan IW. Wirata. 2013. Prevalensi Toxocara vitulorum pada
Induk Dan Anak Sapi Bali di Wilayah Bali Timur. Buletin Veteriner Udayana.
Asmarasari, S. A. dan W.N.H.
2006. Zain. Respons Pemberian Probiotik
dalam Pakan Terhadap Produksi Susu Sapi Perah. Semiloka Nasional Prospek
Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Astuti, T.Y.,
dkk. 2002.
Dasar Ternak Perah. Fapet UNSOED.
Pur- wokerto.
Campbell, N.A. dkk. 2009. Biology 8th edition.
Pearson Benjamin Cummings. San Francisco
Fikar, drh. Samsul dan Dadi Ruhyadi. 2012. Penggemukan Sapi. PT.
AgroMedia Pustaka: Jakarta.
Frandsond, R.
D. 2002. Anatomi
dan Fisiologi Ternak. UGM Pess. Yogyakarta.
Goff,
J.P. 2003. Managing transition cow –
consideration for optimising energi and protein balance and immune function.
Cattle practice. 11(2):51-63
Greenwood SL, McBride BW. 2010. “Development and characterization of the
ruminant model of metabolic acidosis and its effects on protein turnover and
amino acid status. Dalam Australasian Dairy Science Symposium”.
Proceedings of the 4th Australasian Dairy Science Symposium,
Melbourne. Augustus 2010. Hal 400-404.
Istidamah,
Iis. 2006. Study Perbandingan Fisiologi
dan Anatomi Saluran Pencernaan Kambing dan Domba Lokal. Skripsi.
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Koddang. 2008. Pengaruh Tingkat Pemberian Konsentrat terhadap Daya Cerna
Bahan Kering dan Protein Kasar Ransum pada Sapi Bali Jantan yang Mendapatkan
Rumput Raja (Pennisetum Purpurephoides) Ad-Libitum. J. Agroland 15 (4) : 343 – 348.
Kusnadi, dan Didik P. 2011. Biologi Dasar. PIRANTI Darma Kalokatama. Jakarta.
Nagaraja TG, Titgemeyer EC. 2006. ”Ruminal Asidosis in Beef
Cattle: The Current Microbiological and Nutritional Outlook”. Journal of
Dairy Science 90: E17-E38.
Nuswantara,
Limbang Kustiawan. 2002. Ilmu Makanan
Ternak Ruminansia (Sapi Perah). Fakultas Peternakan. UNDIP.
Owens FN, Secrist DS, Hill WJ, Gill DR. 2000. ”Asidosis in Cattle: A Review”.
J Anim Sci 76:275-286.
Prawirodigdo.
2008. Daya Dukung Pakan Hijauan dari
Limbah Pertanian dan Perkebunan untuk Ternak Kerbau Rawa di Beberapa Daerah di
Provinsi Jawa Tengah. Seminar Nasional Usaha Ternak Kerbau.
Tanuwiria,
U. Hidayat. 2007. Potensi Pakan Serat dan
Daya Dukungnya terhadap Populasi Ternak Ternak Ruminansia Diwilayah Kabupaten
Garut. Jurnal Ilmu Ternak, Vol.7 (2): 117-127.
Wijaya, A. 2008. Pengaruh
Imbangan Hijauan Dengan Konsentrat Berbahan Baku Limbah Pengolahan Hasil
Pertanian dalam Ransum terhadap Penampilan Sapi PFH Jantan. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas
Sebelas Maret. Surakarta
Windyasmara, 2012. Pengaruh Jenis Kotoran
Ternak Sebagai Substrat dengan Penambahan Serasah Daun Jati (Tectona Grandis)
Terhadap Karakteristik Biogas pada Proses Fermentasi. Buletin
Peternakan Vol. 36(1): 40-47.
Yasin,
Ismail. 2010. Pencernaan Serat Kasar pada
Ternak Unggas. Jurnal Ilmiah Inkoma, Vol 21 (3): 78-88.
Yulianto, Purnawan dan Cahyo Saparinto. 2011. Penggemukan Sapi
Potong Hari Per Hari. Penebar Swadaya: Jakarta.