Sabtu, 25 Februari 2017

Makalah Ilmu Ternak Perah Sistem Pencernaan dan Kelainan Pencernaan Ternak Perah


I. PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Ruminansia merupakan binatang berkuku genap subordo dari ordo Artiodactyla disebut juga mammalia berkuku. Nama ruminan berasal dari bahasa Latin "ruminare" yang artinya mengunyah kembali atau memamah biak, sehingga dalam bahasa Indonesia dikenal dengan hewan memamah biak. Hewan ruminansia umumnya herbivora atau pemakan tanaman, sehingga sebagian besar makanannya adalah selulose, hemiselulose dan bahkan lignin yang semuanya dikategorikan sebagai serat kasar. Hewan ini disebut juga hewan berlambung jamak atau polygastric animal, karena lambungnya terdiri atas rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Rumen merupakan bagian terbesar dan terpenting dalam mencerna serat kasar, sehingga karena pentingnya rumen dalam prosespencernaan ruminansia, maka timbul pelajaran khusus yang disebut ruminologi. Pencernaan pada ruminansia terjadi secara mekanik, fermentatif dan enzimatik. Pencernaan mekanik melibatkan organ seperti gigi (dentis). Pencernaan fermentatif terjadi dengan bantuan mikroba (bakteri, ptotozoa, dan fungi). Pencernaan enzimatik melibatkan enzim pencernaan untuk mencerna pakan yang masuk.
Sistem pencernaan (tractus digestivus) terdiri atas suatu saluran muskulo membranosa yang terentang dari mulut sampai ke anus. Fungsinya adalah memasukan makanan, menggiling, mencerna dan menyerap makanan serta mengeluarkan buangannya yang berbentuk padat. Sistem pencernaan mengubah zat-zat hara yang terdapat dalam makanan menjadi senyawa yang lebih sederhana hingga dapat diserap dan digunakan sebagai energi, membangun senyawa-senyawa lain untuk kepentingan metabolisme. Pencernaan merupakan rangkaian proses yang terjadi dalam saluran pencernaan sampai memungkinkan terjadinya penyerapan.
Perut sejati pada sistem  pencernaan ruminansia diawali oleh tiga bagian perut atau divertikula (diselaputi oleh epitel-epitel squamous berstrata), dimana makanan dicerna oleh mikroorganisme sebelum bergerak ke saluran pencernaan berikutnya. Rumen, retikulum, dan omasum pada ruminansia, secara bersama-sama disebut perut depan (forestomach atau proventrikulus). Bagian-bagian sistem pencernaan adalah mulut, oesophagus, forestomach (rumen, retikulum, omasum, abomasum), usus halus, usus besar, anus. Sehingga sangat perlu untuk mengetahui dan mempelajari anatomi dan fisiologi pencernaan, supaya dapat juga mengetahui kelainan-kelainan pada saluran pencernaan dan mengobati dan mencegahnya.
1.2    Rumusan Masalah
1.    Apa dan bagaimana fungsi sistem pencernaan?
2.    Bagaimana anatomi sistem pencernaan sapi perah?
3.    Bagaimana bagian-bagian sistem pencernaan sapi perah?
4.    Bagaiman proses pencernaan sapi perah?
5.    Bagaimana kelainan penyakit pada rumen?
1.3 Tujuan
1.    Memahami pengertian dan fungsi sistem pencernaan?
2.    Memahami anatomi sistem pencernaan sapi perah?
3.    Memahami bagian-bagian sistem pencernaan sapi perah?
4.    Memahami proses pencernaan sapi perah?
5.    Memahami kelainan penyakit pada rumen?
 II. TINJAUAN PUSTAKA
Ternak ruminansia seperti sapi, domba dan kambing sangat bergantung pada aktivitas degradasi mikroba rumen. Rumen menyediakan lingkungan yang memungkinkan berkembang dan beraktivitasnya mikroba. pH pada sebagian besar tempat dalam rumen adalah 5,5-7. Proses pencernaan dalam rumen merupakan gabungan antara proses mekanik, proses enzimatik dan proses fermentasi dengan bantuan mikroorganisme rumen. Pemberian bakteri asam laktat sebagai probiotik pada ternak ruminansia pada umumnya dilakukan pada ternak muda dan jarang dilakukan pada ternak dewasa (Asmarasari, 2006).
Proses pencernaan dimulai dari tahap merenggut rumput dengan gigi seri dan ditelan  untuk sementara disimpan dalam rumen. Makanan yang berada dalam rumen dan retikulum akan dicerna oleh sejumlah jasad renik yang secara normal ada dalam lambung sapi. Pakan yang telah ditelan dimuntahkan kembali melalui proses regurgitasi dan kemudian dikunyah serta dicampur dengan ludah sewaktu sapi tersebut dalam keadaan istirahat. Makanan yang telah dikunyah kembali secara fisik dan berubah kondisinya menjadi lebih lumat selanjutnya menuju rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Sistem pencernaan pada sapi atau ruminansia lainnya agak rumit dibandingkan dengan hewan mamalia lainnya. Lambung sapi merupakan lambung yang kompleks terdiri dari empat bagian yaitu paling depan disebut rumen, kemudian retikulum, omasum dan terakhir disebut abomasum yang berhubungan dengan usus (Wijaya, 2008).
Pencernaan yang baik disertai pakan yang baik akan meningkatkan produksi susu. Saat ini kebutuhan susu di Indonesia 70% dipenuhi dengan jalan impor. Luthan (2012) menyatakan pada tahun 2012 produksi susu sebanyak 1.208.000 ton, sedangkan permintaan susu dalam negeri yang mencapai angka 3.120.000 ton. Hal ini dapat menjadi acuan peternak lokal untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas susu yang dihasikan ternak mereka. Merujuk pada kesempatan besar sekitar 70% pasar yang bisa diambil, maka pencernaan ternak wajib menjadi fokus utama. Susu  merupakan hasil produksi ternak yang berasal dari pakan yang diproses melalui sistem pencernaan.
Perbedaan level pemberian daun jati pada feses sapi dan feses kuda menunjukkan semakin bertambahnya level pemberian daun jati, dapat menurunkan volume produksi biogas. Penurunan yang sangat nyata terjadi pada biogas menggunakan feses kuda dengan penambahan daun jati sebesar 10%. Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan pada hari ke 10, 20, 30, dan 40. Pada biogas dengan substrat feses sapi dan feses kuda terjadi kenaikan yang nyata pada hari ke 30 dan 40 sedangkan pada hari ke 20 kenaikan yang terjadi tidak nyata. Lebih tingginya volume biogas yang dihasilkan dari substrat kuda daripada substrat sapi dapat disebabkan karena perbedaan sistem pencernaan antara sapi dan kuda mengakibatkan kandungan bahan organik dalam feses kuda lebih tinggi daripada bahan organik dalam feses sapi (Windyasmara, 2012).
Penyakit yang sering diabaikan oleh peternak adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit cacing. Dari segi perhitungan ekonomi, penyakit pada sapi yang diakibatkan oleh parasit cacing mengakibatkan kerugian yang sangat tinggi bagi peternak. Infeksi cacing pada saluran pencernaan sapi mengakibatkan gangguan pencernaan sapi dan terjadi kompetisi dalam penyerapan nutrisi makanan sehingga pertumbuhan sapi akan terhambat (Agustina, 2013).
                                                                 III. PEMBAHASAN
3.1  Pengertian dan Fungsi Sistem Pencernaan
Sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan yang dilengkapi dengan beberapa organ yang bertanggung jawab terhadap pengambilan, penerimaan, pencernaan dan absorbsi zat makanan. Perjalanan pakan yang dimakan oleh hewan ruminansia melewati organ-organ pencernaan yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda, dimulai dari mulut, oesophagus, rumen, retikulum, kembali lagi ke mulut, retikulum, omasum, abomasum, usus halus, usus besar dan anus. Fungsi utama dari saluran pencernaan adalah mengubah bahan pakan yang dikonsumsi oleh ternak ke dalam senyawa kimia yang dapat diserap ke dalam pembuluh darah untuk digunakan sebagai zat-zat makanan bagi jaringan di dalam tubuh. Saluran pencernaan juga sebagai tempat pengeluaran sisa -sisa metabolisme jaringan dan bahan pakan yang tidak tercerna (Pratiwi, dkk., 2007).
Hewan ruminansia (pemamah biak; seperti sapi, kambing, dll.) memiliki sistem pencernaan yang rumit dibanding herbivora lainnya. Kerumitan ini terletak pada lambung yang memiliki empat ruang. Kerumitan sistem pencernaan ini merupakan adaptasi pada kelompok herbivora seperti pada ruminansia. Tumbuhan lebih sulit dicerna dibanding daging hewan, halini karena sel tumbuhan dilindungi oleh dinding sel yang tinggi akan selulosa sehingga butuh alat yang lebih kompleks untuk dapat menyerap nutrisi dari tumbuhan. Sama seperti pada manusia, pencernaan akan melalui tahap-tahap: ingesti-digesti-absorpsi-eliminasi melalui pencernaan mekanik dan kimiawi (Campbell, dkk., 2009).
3.2  Anatomi Sistem Pencernaan Sapi Perah









Gambar 1. Anatomi Perut Sapi
 


Gambar 2. Anatomi Sistem Pencernaan Sapi
 
 









(Kusnadi, 2011)
3.3  Bagian-Bagian Sistem Pencernaan Sapi Perah
A.      Mulut
Mulut adalah alat pengambil dan tempat mengunyah makanan. Pengunyahan dibantu gigi polar sehingga terjadi pencernaan secara mekanik (Koddang, 2008). Rongga mulut terdapat tiga alat pelengkap pencernaan yaitu gigi (dentes), lidah (lingua), glandula salivarius. Berbeda dengan hewan lain ternak perah termasuk ternak ruminansia pada maksila terdapat tiga gigi seri dan gigi taring, sehingga pada proses pengambilan pakan tergantung pada lingua, labia ,dan dentes pada mandibula. Organ-organ aksesori yang ada di mulut antara lain :
Dentes berdasarkan tumbuhnya dibagi menjadi dentes decidui dan dentes permanent. Dentes berdasarkan letak dan bentuknya : dentes incisive (terletak di muka dan tubuh pada premaksila dan mandibula), dentes canini (terletak pada spatium interal veolaris), dentes premolaris dan molaris (terletak pada sisi dari arcus dentalis) (Astuti, 2002).
B.       Oesophagus
Oeshophagus merupakan lubang yang menghubungkan pharynx dengan lambung panjangnya sekitar 125-150 cm pada sapi. Bolus pada pakan yang dibentuk di dalam rongga mulut dapat berjalan melalui oeshophagus karena adanya gerakan anti peristaltic dari oeshophagus. Lubang terakhir dari oeshophagus disebut cardia. Esophagus merupakan suatu saluran yang terdiri dari otot berwarna merah yang dilapisi selaput lendir. Esophagus merupakan saluran penghubung mulut dengan lambung sapi perah yang terdiri dari rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Dalam oesophagus pakan mengalami degluitasi atau penelanan (Istidamah, 2006).
C.      Rumen


Gambar 3. Rumen
 





Semakin banyak ingesta yang terekspos pada pailae tersebut untuk tumbuh sehingga akan menjadi semakin besar dan panjang. Perlu diketahui bahwa pada pilar-pilar rumen tersebut papilaenya lebih sedikit yang dikarenakan fungsi pilar tersebut untuk kontraksi sehingga kontak dan penyerapannya lebih sedikit. Bagian rumen yang ada maka caudal adalah bagian yang paling sedikit terdapat papilaenya. Rumen untuk ternak yang sudah dewasa menempati kurang lebih 80-86% dari seluruh lambung yang mempunyai fungi sebagai berikut :
1.    Menyiapakan bahan pakan untuk seterusnya dicerna dalam saluran pencernaan.
2.    Lokasi proses fermentasi nutrien/zat makanan akan mementukan spesifikasi dari rumen itu sendiri.
3.    Proses pencampuran dari ingesta (bahan makanan yang telah dicerna).
4.    Tempat terjadinya proses absorbsi dari hasil akhir fermentasi yang mekanisme absorbsinya untuk masing-masing asam lemak akan berbeda (Nuswantara, 2002).
Penyerapan asam lemak tidak terjadi ditempat lain kecuali adanya suatu hal yang khusus, misalnya adalah proses fermentasi dalam rumen tersebut cepat sedangkan absorbsinya tidak sempurna sehingga sebagian dari asam lemak tersebut ikut ke dalam bagian lambung lain seperti retikulum dan sebagainya. Berdasarkan fisiologinya pencernaan ruminansia mampu mensintesis nutrien dari pakan kasar serta dibantu dengan kontribusi asam amino dari mikroba yang berkembang biak dalam rumen. Oleh karena itu dalam formulasi pakan ternak ruminansia dapat dikonsentrasikan pada pemenuhan kebutuhan nutrien berdasarkan profil dan karakter nutrien komponen pakan terutama untuk bahan kering, protein tercerna, energi metabolis, vitamin, dan mineral (Prawirodigdo, 2008)
D.      Retikulum







Gambar 4. Retikulum
 
 


Secara fisik retikulum tidak terpisah dari rumen tetapi secara anatomi berbeda. Retikulum merupakan bagian terkecil dari keempat lambung ternak perah. Terletak berhadapan antara costae ke 6 sampai ke 8 atau ke 9 merupakan jalan antara rumen dan omasum, dimana pada retikulum terdapat lipatan-lipatan oeshophagus yang merupakan jaringan yang langsung dari oeshophagus menuju omasum. Bagian dalam retikulum terdiri papillae-papilae yang berbentuk seperti rumah tawon. Nuswantara (2002) menyatakan bagian yang kedua dari lambung depan adalah retikulum, lambung bagian ini juga berpapilae yang berlainan bentuk dengan papilae pada rumen. Bentuk papilaenya lebih spesifik yang berbentuk segi enam seperti sarang lebah. Retikulum mempunyai fungsi dalam statusnya sebagai saluran pencernaan terutama lambung bagian kedua yaitu :
a.    Menyebarluaskan makanan yang dicerna kembali menuju rumen karena tidak adanya klep yang membatasi anatara rumen dan retikulum. Umumnya bagian pakan yang kasar seperti hijauan, konsentrat yang dalam keadaan masih masif sehingga belum sempat tercerna akan kembali ke rumen. Selain itu meluruskan jalan ingesta kebagian yang berikutnya atau omasum   yang telah dicerna atau berupa cairan.
b.   Membantu dalam proses ruminasi terutama pada pross regurgitasi dapat dilihat dari motilitas lambung dimana retikulum dan rumen berperan dalam proses ruminasi.
c.    Merupakan lokasi untuk mencerna pakan yang masih belum sempat dicerna di rumen.
d.   Ikut mengatur arus bahan pakan dan materi pakan/ingesta dari retikulo rumen ke lubang retikul omasum.
e.    Merupakan tempat terkumpulnya benda-benda asing.
f.     Tempat absorbsi hasil akhir fermentasi seperti VFA yang belum sempat diabsorbsi di dalam retikulum, demikian juga terjadi absorbsi air dan amonia.
Proporsi retikulum dalam lambung adalah 5 %. Lokasi retikulum yang persis dibelakang diagframa menempatkannya hampir dalam posisi yang berlawanan dengan jantung sehingga bila ada benda-benda asing yang tertelan seperti kawat atau paku cenderung akan diam diretikulum. 
E.       Omasum







Gambar 5. Omasum
 
 


Omasum terletak disebelah kanan rumen dan retikulum persis pada posisi caudal hati dasar omasum seperti juga halnya lembaran atau lipatan (Frandson, 2002). Menurut Nuswantara (2002), omasum merupakan lambung depan terakhir yang dimiliki oleh ternak ruminansia. Perut bagian tersebut masih tergolong perut semu karena belum mensekresikan getah pencernaan. Omasum berbentuk seperti lembaran-lembaran atau lipatan  yang disebut dengan laminae. Penghubung antara omasum dan reticulum terdapat saluran yang disebut reticulo omasicum. Poporsi omasum pada lambung adalah 7-8 %. Perut bagian ini sering disebut juga dengan perut buku-buku. Lambung bagian omasum ini mempunyai fungsi sebagai berikut :
1.    Mengatur arus ingesta (bahan makanan yang telah dicerna) ke abomasum lewat lubang yang ada antara omasum dan abomasum yang disebut dengan omasal-abomasal orificae. Setelah masuk maka ingesta tersebut didorong masuk ke dalam abomasum.
2.    Omasum juga mencerna ingesta (bagian dalam terdapat lamine) sehingga ingesta yang ada dalam omasum tersebut seolah-olah tergilas di lamine tersebut.
3.    Penyaring dengan adanya lamine pada bagian ini maka ingesta yang lebih besar akan tertinggal dalam omasum sedangkan ingesta yang lebih kecil akan diteruskan ke abomasum.
4.    Omasum juga merupakan tempat absorbsi produk akhir fermentasi seperti air sehingga jika lambung tersebut kita buka banyak terdapat ingesta yang agak kering.
F.       Abomasum
Gambar 6. Abomasum
 

Murti (2003) menyatakan bahwa abomasum merupakan lambung sejati karena bagian ini sudah mulai disekresikan getah pencernaan seperti HCL dan pepsin. Abomasum ternak ruminansia sama fungsinya dengan lambung (abomasum ternak non ruminansia). Lambung tersebut dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu cardia, fundus, dan pilorus. Bagian kardia merupakan gland mucus bagian ini berdekatan dengan omasum, anatara abomasum dan omasum ini dihubungkan oleh suatu celah yang disebut dengan omase-abomas orificae. 
G.      Usus Halus
Sebagian besar pencernaan dan absorbsi nutrisi terjadi di dalam usus halus. Proses pencernaan dibantu oleh kelenjar intestinal yang mengahasilkan mucin berfungsi sebagai pelicin dan enzim sukrase memecah sukrosa menjadi glukosa, fruktosa, maltase memecah maltosa menjadi glukose, eripsin memecah bentuk intermediet protein menjadi asam amino (Yasin, 2010).
Usus halus terbagi menjadi tiga bagian yaitu duodenum, jejenum, dan illeum. Duodenum merupakan bagian pertama dari usus halus. Saluran yang berasal dari hati dan saluran pankreas menyatu dalam duodenum pada jarak yang pendek dibelakang pilorus (Istidamah, 2006). Jejenum dengan jelas dap at dipisahkan dengan duodenum. Jejenum bermula dari kira-kira pada posisi dari mesentri mulai kelihatan memanjang. Jejenum dan ileum itu bersambung dan tidak ada batas yang jelas diantaranya. Protein yang dikonsumsi tidak seluruhnya dirombak oleh mikroba rumen, sebagian ada yang lolos dan masuk ke abomasum, terus mengalir ke usus halus (Tanuwiria, 2007).  Bagian terakhir dari usus halus ada ileum (Frandson, 2002). Usus halus memiliki fungsi sebagai berikut :
1.    Tempat terjadi pencernaan dan penyerapan karbohidrat dalam bentuk monosakarida.
2.    Tempat terjadinya perombakan peptida-peptida menjadi asam amino bebas dan kemudian diserap.
3.    Tempat terjadinya perombakan lemak menjadi gliserida dan asam lemak bebas (VFA) dan diabsorbsi.
H.      Usus Besar
Usus Besar terdiri dari sekum, kolon, dan rektum. Usus besar tidak menghasilkan enzim karena kelenjar-kelenjar yang ada adalah mukosa, karenanya tiap pencernaan yang terjadi di dalamnya adalah sisa-sisa kegiatan oleh enzim-enzim dari usus halus dan enzim yang dihasilkan oleh jasad-jasad renik yanng banyak terdapat pada usus besar. Sekum melakukan pencernaan fermentatif. Usus besar atau intestinum krassum terdiri dari kolon, rektum, dan kloaka. Dinding saluran ini banyak mengandung nodus limfatikus. Fungsi saluran adalah sebagai tempat proses pembusukkan sisa digesti (pembentukkan feses) dan proses reabsorpsi air dan partikel terlarut di dalamnya (Campbell, 2003).
Sekum merupakan suatu kantong buntu dan kolon yang terdiri dari bagian naik, mendatar dan turun. Bagian yang turun akan berakhir di rektum dan anus (Frandson, 2002). Rectum merupakan lubang tempat pembuangan feses dari tubuh. Sebelum dibuang lewat anus, feses ditampung terlebih dahulu pada bagian rectum. Apabila feses sudah siap dibuang maka otot spinkter rectum mengatur pembukaan dan penutupan anus. Otot spinkter yang menyusun rektum ada 2, yaitu otot polos dan otot lurik. Retikulum mengaduk-aduk makanan kemudian dicampur dengan enzim yang dihasilkan oleh bakteri yang ada, hingga akhirnya menjadi gumpalan-gumpalan yang masih kasar (bolus). Pengadukan dilakukan oleh kontraksi otot dinding retikulum. Kemudian, gumpalan makanan tersebut didorong kembali ke mulut untuk dikunyah lebih sempurna (dimamah kedua kali), sambil beristirahat. Setelah itu, gumpalan makanan ditelan lagi masuk ke omasum melewati rumen dan reticulum (Munadi, 2011).
3.4    Proses Pencernaan Sapi Perah
Prehensi merupakan gerakan pengambilan pakan dari luar masuk ke mulut untuk dikunyah. Alat-alat yang penting untuk prehensi yaitu : bibir, lidah dan gigi.
1.        Mastikasi
Mastikasi yaitu proses pengunyahan pakan secara mekanis menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, sebagai kelanjutan pada prehensi. Pengunyahan (mastikasi/cheving) bahan pakan oleh ternak pada awalnya hanya ringan saja, cukup untuk mencampur bahan pakan dengan saliva dan membentuk bolus untuk penelanan. Pada mastikasi yang berrperan adalah gigi. Walaupun ruminansia telah dilengkapi dengan gigi untuk mengunyah pakan, tetapi biasanya mereka tidak melakukan pengunyahan sewaktu makan. Bahan-bahan pakan tersebut hanya dicampur dengan saliva. Frekuensi mastikasi rata-rata 94 kali per menit (Tanuwiria, 2007).
2.        Ensalivasi
Yaitu pencampuran pakan dengan saliva dan untuk kemudian ditelan dalam bentuk bolus. Pencampuran ini bertujuan untuk mempermudah penelanan pakan. Nuswantara (2002) menyatakan saliva yang dikeluarkan ada tipe yaitu mucous yang mengandung mucim, bentuknya kental sehingga bersifat viscous dan yang kedua adalah serous, bentuknya cair (Watery) berjumlah banyak dan mengandung senyawa bikarbonat yang berfungsi membafer (lob viscous).
3.        Degluitasi.
Bolus-bolus yang terbentuk akan ditelan dan masuk ke dalam rumen bagian interior. Bolus-bolus rumput kering akan terapung, sedangkan bolus konsentrat karena lebih berat akan tenggelam.  Bolus yang terjadi di dalam mulut akan ditempelkan diujung lidah, kemudian dibawah keatas sampai kelangit-langit mulut selanjutnya di bawah kebelakang, akibatnya epiglotis membuka dan dengan dorongan lidah bolus masuk ke dalam faring. Setelah masuk faring, terjadi stimulasi pada faring, akibatnya trachea akan menutup dan dengan dorongan basa lidah, bolus masuk ke esophagus. Dorongan basa lidah juga diperkuat oleh muskulus faring. Akhirnya bolus secara peristalik akan masuk ke dalam rumen lewat kardia (Nuswantara, 2002)..    
4.        Eruktasi
Eruktasi merupakan gerakan pengeluaran  gas CO2 dan CH4 hasil fermentasi rumen lewat esophagus. Gas tersebut dikeluarkan dari rumen sewaktu rumen distensi, sehingga tekanan didalam rumen turun, akibatnya gas akan keluar dari bagian dorsal ke depan (Nuswantara, 2002).
5.        Ruminasi
Nuswantara (2002) menyatakan ruminasi merupakan gerakan yang komplek, berurutan dan terkoordinir, yang meliputi gerakan-gerakan :
a.    Regurgitasi :
Merupakan pengeluaran kembali pakan yang sudah sedikit dicerna dari rumen kerongga mulut yang diatur oleh susunan syaraf. Syaraf yang berperan dalam gerakan regurgitasi adalah muskulus spinter dan muskulus faringeal. Regusgitasi dimulai dari kontraksi retikulum yang diikuti rumen bagian bawah, akibatnya ingesta akan dibawa keatas, yang kemudian akan disusul oleh pengembangan rongga dada berkurang, dengan adanya stimulasi bolus yang bergerak, kardia akan terbuka dan ingesta didorong masuk esophagus. Adanya gerakan anti peristaktik, ingesta yang masih kasar akan terdorong masuk kemulut. Setelah ingesta sampai dimulut maka akan dimastikasi kembali.
b.    Remastikasi :
Adalah pengunyahan kembali ingesta. Gerakannya biasanya lebih lama dibandingan mastikasi dan diatur oleh syaraf vagus. Frekuensi remastikasi lebih kurang 55 kali per menit.
c.    Reensavilasi :
Proses reenvilasi, saliva yang dikeluarkan lebih banyak dari ensalivasi.
d.   Redeglutasi :
Adalah penelanan kembali pakan langsung ke retikulum.
6.        Usus Halus
Nuswantara (2002) menyatakan usus terjadi proses pencernaan akhir, artinya semua zat yang masih bermolekul ganda atau masih berantai panjang akan dirombak menjadi zat yang labih sederhana yang umumnya bermolekul tunggal. Zat ini baru akan diabsorbsi dalam usus. Proses ini jejunum. Doedenum dan ileum mempunyai fungsi yang hampir sama. Sedikit perbedaan ialah pada jumlah kelenjar yang terdapat didalam bagian usus halus tersebut. Sepanjang usus halus terdapat banyak kelenjar  Brunner yang terletak pada puncak kelenjar mucosa. Bagian  ujung belakang jejenum, semakin ke belakang semakin jarang, sehingga akhirnya pada ujung belakang ileum sangat jarang.

7.        Usus Besar
Meskipun air yang diminum dan air yang terdapat dalam saliva serta caiaran gastrointestinlis sebagian besar telah diserap dalam usus besar masih banyak mengandung banyak air. Saat bahan makanan tertentu melewati kolon terjadilah absorbsi cairan. Sehingga apabila beban makanan tersebut melewati colon dalam wak tu singkat maka kolon tidak sempat mengabsorbsi cairan lebih banyak dan feses yang keluar nantinya masih banyak mengandung airnya. Keadaan ini sering disebut diare, sebaliknya sembelit akan terjadi apabila bahan makanan terlalu lama tinggal di kolon.
8.        Proses Pengeluaran Feses
Sisa hasil pencernaan akan dikeluarkan menuju rectum dan kemudian dikeluarkan melalui cloaca.
3.5    Kelainan Penyakit pada Rumen
a.       Diare
Penyakit mencret atau diare sering menyerang ternak sapi. Biasanya, mencret disebabkan oleh bakteri Escherichia coli, Clostridium sp, gangguan makanan, dan udara dingin. Penyakit ini berimplikasi pada gangguan alat pencernaan. Feses sapi berbentuk encer, terus menerus, dan berbau busuk. Kondisi tubuh sapi lemas. Kotoran yang keluar berwarna hijau muda atau kuning kehijauan. Gangguan diare dapat menyebabkan penurunan bobot badan ternak (Yulianto dan Cahyo, 2011). Diare sangat berakibat fatal bagi pedet, karena dapat menimbulkan kematian (Purbowati, 2012).
Diare dapat dicegah dengan pemberian pakan berkualitas secara teratur kepada sapi, menjaga kebersihan kandang, memberikan vitamin A dan D, dan mengisolasi pedet atau sapi yang terserang diare (Fikar dan Dadi, 2012). Menurut Fikar dan Dadi (2012) pengobatan dapat dilakukan dengan 3 cara, 1). Jika diare disebabkan oleh kondisi pakan yang jelek, maka harus dilakukan penggantian pakan dengan pakan yang lebih berkualitas; 2). Jika diare disebabkan oleh infeksi kuman E. Coli, segera obati dengan memberikan antibiotik sesuai aturan pakai; 3). Jika penyakit diare disebabkan oleh protozoa, obati sapi dengan memberika sulfa quinoxalin. Hindari pemberian pakan berupa daun muda atau kacang kacangan dan diobati dengan oralit arang aktif/norit (Purbowati, 2012).
b.      Asidosis
Asidosis adalah suatu kondisi patologis yang berhubungan dengan akumulasi asam atau menipisnya cadangan basa dalam darah dan jaringan tubuh, dan ditandai dengan konsentrasi ion hidrogen yang meningkat.  Asidosis metabolik pada hewan ruminansia dapat terjadi pada sapi potong maupun sapi perah yang diberikan pakan yang mengandung karbohidrat yang mudah di fermentasi (Greenwood dan McBride, 2010). Menurut Nagaraja dan Titgemeyer (2006) menyatakan bahwa retikulorumen merupakan organ pencernaan pada ruminansia yang memiliki ekosistem mikroba anaerobik. Mikroba dalam rumen melakukan proses pencernaan dengan fermentasi, substrat akan dirubah menjadi asam organik. Masuknya substrat dalam jumlah yang normal serta proses penyerapan yang baik akan menciptakan pH rumen yang stabil yaitu berkisar 5,8 – 6, 8.  Pada keadaan asidosis pH rumen biasanya dibawah 5,5.
Kejadian asidosis metabolik pada ruminansia terjadi karena adanya konsumsi karbohidrat yang mudah difermentasi secara berlebihan. Hal ini biasanya terjadi pada saat pemberian pakan dari biji-bijian. Biji-bijian seperti gandum dan jagung merupakan jenis pakan yang mangandung karbohidrat yang mudah difermentasi sehingga dapat menyebabkan kejadian asidosis. Pakan yang dikonsumsi oleh hewan ruminansia akan masuk kedalam rumen dan melewati tahap fermentasi oleh bakteri.  Bakteri rumen akan merespon adanya peningkatan kandungan karbohidrat yang mudah dicerna dengan peningkatan aktivitas. Adanya peningkatan aktivitas bakteri rumen menyebabkan senyawa kimia yang dihasilkan juga meningkat seperti VFA dan laktat sehingga memungkinkan tejadinya asidosis rumen. Beberapa bakteri yang berperan adalah  Bifidobacterium, Butyrivibrio, Eubacterium, Lactobacillus, Mitsuokella, Prevotella, Ruminobacter, Selenomonas, Streptococcus, Succinimonas, dan Succinivibrio (Nagaraja dan Titgemeyer, 2006).
Menurut Greenwood dan McBride (2010) menyatakan bahwa pada kondisi asidosis, ruminansia akan melaksanakan mekanisme peningkatan sintesa glutamine sehingga menyebabkan adanya peningkatan konsentrasi glutamine dalam plasma. Walaupun demikian pada kasus asidosis kronis, akan terjadi penurunan konsentrasi glutamine, hal ini disebabkan oleh penggunaan glutamine yang berlebihan saat awal kejadian asidosis. Glutamine adalah satu dari 20 asam amino yang memiliki rantai samping amida. glutamine dianggap sebagai molekul penyimpan NH+ di dalam otot dan transportasi antar organ bagi senyawa tersebut. Meskipun kadar glutamina di dalam protein otot hanya sekitar 4% dibandingkan dengan jumlah seluruh asam amino yang terkadung dalam protein tersebut, otot dalam mengandung lebih dari 40% glutamina dan plasma darah mengandung lebih dari 20%. Adanya sintesis glutamine dalam kasus asidosis yang berlebihan memungkinkan adanya pengambilan glutamine dari otot melalui mekanisme proteolisis otot. Pada ruminansia proses proteolisis otot tidak terjadi walaupun demikian dalam plasma tetap ditemukan adanya peningkatan konsentrasi glutamine.
Tanda asidosis yang paling nyata terdapat pada asidosis akut. Tanda-tanda klinis sangat bervariasi, tetapi biasanya menjadi jelas 12-36 jam setelah engorgement gandum. Dalam bentuk akut, acidosis yang cukup parah adalah pelemahan dari fungsi faali. Tanda paling awal adalah kelesuan. Berhentinya gerak ruminal adalah indikasi yang sangat kuat terjadinya acidotic karena hal diakibatkan oleh konsentrasi tinggi dari Asam susu dan VFA, khususnya butirat. Kotoran awalnya pekat kemudian menjadi berair dan sering berbusa, dengan bau pengap. Dehidrasi akan berkembang dalam waktu 24 hingga 48 jam. Hewan yang sembuh dapat meninggalkan rumenitis, laminitis, atau pembengkakan hati; masalah ini akan tercermin pada penurunan kinerja. Binatang mengalami asidosis substat jarang menunjukkan tanda-tanda klinis (Greenwood dan McBride, 2010).
Pengendalian asidosis cukup  dipengaruhi oleh manajemen nutrisi. Evaluasi tentang manajemen nutrisi adalah langkah pertama dalam mengendalikan asidosis. Salah satu strategi untuk meminimalkan risiko yang berkaitan dengan pakan yang tinggi tingkat fermentasinya (gandum, barley, jagung, dan sebagainya) adalah mencampur pakan dengan fermentasi tinggi dengan bahan-bahan yang lebih rendah tingkat fermentasi patinya. Efisiensi pada kombinasi pakan, lebih baik dibandingkan dengan menggunakan satu pakan (Owens, dkk., 2000).
Umumnya, hijauan ditambahkan ke pakan finishing untuk mengendalikan asidosis. Dengan adanya pemberian hijauan dengan bahan kasar yang tinggi dapat menjaga integritas dari papila rumen. Papila rumen yang normal memiliki ukuran permukaan mukosa yang lebih luas sehingga proses absorbsi dan pencernaan makanan akan menjadi lebih baik. Selain dengan manajemen nutrisi, kasus asidosis juga dapat diatasi dengan pemberian pakan aditif yang dapat menghambat pembentukan mikroba yang menghasilkan laktat. Pemberian beberapa jenis bakteri tertentu, mencegah adanya pembentukan glukosa dan asam laktat yang berlebihan sehingga kejadian asidosis dapat di hindari (Owens, dkk., 2000).
c.       Bloat
Bloat atau tympani merupakan penyakit alat pencernaan yang disertai penimbunan gas dalam lambung akibat proses fermentasi berjalan cepat. Pembesaran rumenoretikulum oleh gas yang terbentuk,  bisa dalam bentuk busa persisten yang bercampur isi rumen (kembung primer) dan gas bebas yang terpisah dari ingesta (kembung sekunder). Bloat atau kembung perut yang diderita sapi, dapat menyebabkan kematian karena struktur organ sapi yang unik. Dimana pada sapi, jantungnya terletak disebelah kanan perut, bukan dibagian dada seperti halnya manusia. Hal tersebut akhirnya menyebabkan jantung sapi terhimpit oleh angin dan asam lambung saat menderita kembung. Karena kembung yang terjadi, mendesak dan mengakibatkan perut sapi membesar kesamping. Kematian pada sapi yang menderita kembung perut, biasanya rentan terjadi karena ketidaktahuan dan salah penanganan oleh peternak. Saat sapi mengalami kelumpuhan dengan perut yang kembung, banyak peternak yang memposisikan sapi mereka telentang. Hal itu menyebabkan, jantung sapi terhimpit dengan lebih cepat. Namun penyakit kembung perut tidak membahayakan atau menular kepada binatang lain atau manusia, daging sapi yang terserang penyakit inipun masih aman untuk dikonsumsi (Sitepoe, 2008).
Kembung merupakan akibat mengkonsumsi pakan yang mudah menimbulkan gas di dalam rumen. Kondisi rumen yang terlalu penuh dan padat yang berujung menurunkan gerakan rumen dan menurunkan derajat keasaman dari rumen. Pakan hijauan yang masih muda dapat memicu timbulnya bloat, selain itu tanaman kacang-kacangan juga memicu timbulnya kembung (Sitepoe, 2008).
 IV. PENUTUP
4.1    Kesimpulan
a.      Sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan yang dilengkapi dengan beberapa organ yang bertanggung jawab terhadap pengambilan, penerimaan, pencernaan dan absorbsi zat makanan. Pencernaan pada ruminansia dimulai dari mulut, esofagus, rumen, retikulum, kembali lagi ke mulut, retikulum, omasum, abomasum, usus halus, usus besar dan anus.
b.      Proses pencernaan pada rumen adalah pencernaan protein, polisakarida, dan fermentasi selulosa oleh enzim selulase yang dihasilkan oleh bakteri dan protozoa tertentu. Setelah dari rumen, makanan akan diteruskan ke  retikulum dan di tempat ini makanan akan dibentuk menjadi gumpalan-gumpalan yang masih kasar disebut bolus.
c.       Proses ruminasi hanya terjadi pada hewan rumunansia, dimana bahan makanan akan dimuntahkan kembali kemulut dari retikumum untuk di kunyah lagi dan ditelan kembali.
d.      Penyakit metabolik pada pencernaan ruminansia adalah Milk fever dan mastitis.
e.       Milk fever adalah penyakit penting akibat gangguan makromineral pada sapi-sapi periode periparturien yang menyebabkan konsentrasi kalsium darahnya turun dan menyebabkan gangguan peran fungsi kalsium termasuk kontraksi otot.
f.       Mastitis menyebabkan penurunan kualitas susu dari segi kandungan susu yang rusak akibat bakteri.
4.2    Saran
a.      Praktikum laboratorium sudah berjalan baik, namun lebih baik lagi jika saat praktikum laboratorium semua praktikan diberikan kesempatan untuk memegang preparat secara langsung.
b.      Praktikum kandang sudah baik, namun lebih baik lagi jika kambing yang digunakan tidak terlalu stress sehingga mudah dalam pengukuran badan.

 
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, K.K., A.A.G.O. Dharmayudha dan IW. Wirata. 2013. Prevalensi Toxocara vitulorum pada Induk Dan Anak Sapi Bali di Wilayah Bali Timur. Buletin Veteriner Udayana.
Asmarasari, S. A. dan W.N.H. 2006. Zain. Respons Pemberian Probiotik dalam Pakan Terhadap Produksi Susu Sapi Perah. Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas – 2020
Astuti, T.Y., dkk. 2002. Dasar Ternak Perah. Fapet UNSOED. Pur-          wokerto.
Campbell, N.A. dkk. 2009. Biology 8th edition. Pearson Benjamin Cummings. San Francisco
Fikar, drh. Samsul dan Dadi Ruhyadi. 2012. Penggemukan Sapi. PT. AgroMedia Pustaka: Jakarta.
Frandsond, R. D. 2002.  Anatomi dan Fisiologi Ternak. UGM  Pess. Yogyakarta.
Goff, J.P. 2003. Managing transition cow – consideration for optimising energi and protein balance and immune function. Cattle practice. 11(2):51-63
Greenwood SL, McBride BW. 2010. “Development and characterization of the ruminant model of metabolic acidosis and its effects on protein turnover and amino acid status. Dalam Australasian Dairy Science Symposium”. Proceedings of the 4th Australasian Dairy Science Symposium, Melbourne. Augustus 2010. Hal 400-404.
Istidamah, Iis. 2006. Study Perbandingan Fisiologi dan Anatomi Saluran Pencernaan Kambing dan Domba Lokal. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Koddang. 2008. Pengaruh Tingkat Pemberian Konsentrat terhadap Daya Cerna Bahan Kering dan Protein Kasar Ransum pada Sapi Bali Jantan yang Mendapatkan Rumput Raja (Pennisetum Purpurephoides) Ad-Libitum. J. Agroland 15 (4) : 343 – 348.
Kusnadi, dan Didik P. 2011. Biologi Dasar. PIRANTI Darma Kalokatama. Jakarta.
Nagaraja TG, Titgemeyer EC. 2006. ”Ruminal Asidosis in Beef Cattle: The Current Microbiological and Nutritional Outlook”. Journal of Dairy Science  90: E17-E38.
Nuswantara, Limbang Kustiawan. 2002. Ilmu Makanan Ternak Ruminansia (Sapi Perah). Fakultas Peternakan. UNDIP.
Owens FN, Secrist DS, Hill WJ, Gill DR. 2000. ”Asidosis in Cattle: A Review”.  J Anim Sci 76:275-286.
Prawirodigdo. 2008. Daya Dukung Pakan Hijauan dari Limbah Pertanian dan Perkebunan untuk Ternak Kerbau Rawa di Beberapa Daerah di Provinsi Jawa Tengah. Seminar Nasional Usaha Ternak Kerbau.
Tanuwiria, U. Hidayat. 2007. Potensi Pakan Serat dan Daya Dukungnya terhadap Populasi Ternak Ternak Ruminansia Diwilayah Kabupaten Garut. Jurnal Ilmu Ternak, Vol.7 (2): 117-127.
Wijaya, A. 2008. Pengaruh Imbangan Hijauan Dengan Konsentrat Berbahan Baku Limbah Pengolahan Hasil Pertanian dalam Ransum terhadap Penampilan Sapi PFH Jantan. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Sebelas Maret. Surakarta
Windyasmara, 2012. Pengaruh Jenis Kotoran Ternak Sebagai Substrat dengan Penambahan Serasah Daun Jati (Tectona Grandis) Terhadap Karakteristik Biogas pada Proses Fermentasi. Buletin Peternakan Vol. 36(1): 40-47.
Yasin, Ismail. 2010. Pencernaan Serat Kasar pada Ternak Unggas. Jurnal Ilmiah Inkoma, Vol 21 (3): 78-88.
Yulianto, Purnawan dan Cahyo Saparinto. 2011. Penggemukan Sapi Potong Hari Per Hari. Penebar Swadaya: Jakarta.