BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pencernaan adalah proses perubahan
secara fisik dan kimia yang dialami oleh pakan (ransum) di dalam saluran
pencernaan ternak. Ternak mengkonsumsi pakan untuk mencukupi kebutuhan
nutriennya untuk hidup pokok, produksi dan reproduksi. Pakan yang dikonsumsi
oleh ternak akan mengalami perubahan secara fisik dan kimia di dalam tubuh
melalui aktivitas alat pencernaan dan enzim pencernaan. Berdasarkan proses
perubahan yang terjadi di saluran pencernaan, maka proses pencernaan dapat
dibagi menjadi 3 jenis yaitu: (a) proses pencernaan secara mekanis, (b) proses
secara hidrolis dan (c) proses pencernaan secara fermentatif (Sutardi, 1980). Alat
pencernaan adalah kumpulan beberapa Organ yang langsung berhubungan dengan dengan
penerimaan, pencernaan bahan-bahan makanan dan pengeluaran sisa-sisa pencernaan
(Parakkasi, 1995). Posisi atau lokasi proses pencernaan fermentatif ternyata
bervariasi antara jenis ternak, dan hal ini akan memberikan implikasi yang
berbeda pada jenis pakan yang sesuai. Lambung
ternak ruminansia berbeda dengan ternak non-ruminansia yaitu alat pencernaan
ternak ruminansia lebih kompleks (Sutardi, 1983). Perbedaan dalam posisi organ
untuk proses pencernaan fermentatf menyebabkan kedua kelompok ternak tersebut
memerlukan jenis pakan dengan karakteristik yang berbeda.
Proses pencernaan akan menghasilkan
bahan baku yang digunakan untuk produksi susu. karbohidrat mudah terlarut,
protein lolos degradasi, dan sebagai sumber glukosa untuk bahan baku produksi susu.
Konsentrat memperluas peluang terbentuknya asam lemak asiri (volatile fatty
acid = VFA) terutama asam propionat yang lebih banyak dengan produksi metan
semakin kecil, sehingga efisiensi penggunaan energinya lebih tinggi (Blaxter,
1969; Orskov dan Ryle, 1990).
Pencernaan yang baik disertai pakan yang
baik akan meningkatkan produksi susu. Saat ini kebutuhan susu di Indonesia 70%
dipenuhi dengan jalan impor. Luthan
(2012) menyatakan pada tahun 2012 produksi susu
sebanyak 1.208.000 ton, sedangkan permintaan susu dalam negeri yang mencapai
angka 3.120.000 ton. Hal ini dapat menjadi acuan peternak lokal untuk
meningkatkan kualitas dan kuantitas susu yang dihasikan ternak mereka. Merujuk
pada kesempatan besar sekitar 70% pasar yang bisa diambil, maka pencernaan ternak
wajib menjadi fokus utama.
Susu merupakan hasil produksi ternak yang berasal
dari pakan yang diproses melalui sistem pencernaan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi
pencernaan sapi perah.
2. Bagaimana proses yang terjadi di saluran pencernaan
sapi perah
3. Bagaiman keterkaitan sistem pencernaan dengan proses produksi susu sapi perah
4. Apa penyakit metabolik yang menyerang sistem
pencernaan sapi perah
1.3 Tujuan
1. Memahami
sistem anatomi dan fisiologi pencernaan sapi perah.
2. Mengetahui proses yang terjadi di saluran pencernaan
sapi perah
3. Mengetahui keterkaitan sistem pencernaan dengan proses
produksi susu pada spi perah
4. Mengetahui penyakit metabolik yang menyerang sistem
pencernaan pada sapi perah
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Hasil
2.1.1 Anatomi Alat Pencernaan Sapi
2.1.2 Anatomi Lambung Sapi
a. Mulut
berfungsi sebagai alat pencernaan mekanik dan enzymatik.
b. Oesophagus
berfungsi sebagai saluran yang membawa pakan menuju lambung melalui gerak
peristaltik.
c. Rumen
berfungsi sebagai tempat pencernaan pakan secara fermentatif dibantu oleh
mikroba dan menghasilkan VFA (volatil fatty Acid).
d. Retikulum
berfungsi sebagai pembentuk bolus
pakan dan penyaringan pakan dari benda asing.
e. Omasum
berfungsi sebagai tempat penyerapan air, mineral dan vitamin.
f. Abomasum
berfungsi sebagai tempat pencernaan enzymatik ditandai dengan disekresikannya
esipepsin.
2.2 Pembahasan
2.2.1
Anatomi
dan Fisiologi Sistem Pencernaan Sapi Perah
Sistem pencernaan terdiri dari saluran pencernaan yang dilengkapi
dengan beberapa organ yang bertanggung jawab terhadap pengambilan, penerimaan,
pencernaan dan absorbsi zat makanan. Perjalanan pakan
yang dimakan oleh hewan ruminansia melewati organ-organ pencernaan yang
memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda, dimulai dari mulut, esofagus,
rumen, retikulum, kembali lagi ke mulut, retikulum, omasum, abomasum, usus
halus, usus besar dan anus.
a.
Mulut
Mulut
adalah alat pengambil dan tempat mengunyah makanan. Dalam mulut makanan dipecahkan
menjadi pecahan yang lebih kecil dan tercampur dengan air ludah. Air ludah selain membasahi makanan juga
melancarkan pengunyahan dan penelanan makanan dan disamping itu juga melarutkan
sebagian makanan yang merangsang indera perasa makanan (Sihombing, 1991).
b.
Esofagus
Menurut
Sihombing (1991), esofagus berfungsi sebagai jalan makanan menuju rumen, sedang
makanan tidak mengalami perubahan sepanjang esophagus.
c.
Lambung
Foetus
ruminansia seperti halnya foetus hewan lambung tunggal, mempergunakan
karbohidrat sebagai sumber energi terbesar. Glukosa, fruktosa, dan asam amino
dipergunakan untuk pertumbuhan selama periode prenatal. ternak ruminansia
seperti sapi kerbau, domba dan kambing mempunyai lambung yang hampir sama
dengan lambung ternak non ruminansia pada saat dilahirkan yaitu obamasum masih
mendominasi dari total lambung. Akan tetapi setelah bertambahnya umur ternak
maka lambung depan pada ternak ruminansia akan lebih cepat dibandingkan dengan
obamasumnya. Setelah kelahiran, rumen, retikulum, omasum, obamasum berkembang
samapi mencapai kesempurnaan dalam fungsinya. Ternak domba phase transisi
dimulai pada saat umur ternak tersebut 5 minggu sampai dengan umur 9 minggu,
sedangkan pada ternak besar seperti sapi phase tersebut pada umur 5 minggu sampai
umur 12 minggu. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh jenis pakan yang dimakan
oleh ternak tersebut. Sebagai contoh sapi atau kerbau yang dewasa maka berat
rumennya kurang lebih 80%, retikulum 5%, omabomasum sebesar 7% dari seluruh
lambung yang dimilikinya (Nuswantara, 2002).
Seperti
telah disinggung diatas bahwa ternak ruminansia mempunyai lambung ganda yaitu
sebanyak empat bagian, yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum. Pembagian
tersebut membuat rumen, retikulum dan omasum merupakan lambung depan yang semu
hal ini dikarenakan ketiga bagian tersebut tidak ada glandulanya tanpa mocus dan
tidak menghasilkan enzim untuk membantu mencerna nutrien. Sedangkan bagian
lambung yang paling belakang yaitu abomasum yang disebut juga dengan lambung
sejati. Bagian ini mensekresikan enzim yang dapat membantu dalam proses
pencernaan. Antara rumen dan retikulum dihubungkan dengan saluran yang disebut
dengan reticulo-ruminal fold,
sehingga ingesta makanan dapat mengalir dari rumen ke retikulum atau
sebaliknya. Tempat inilah terdapat populasi mikroorganismeyang berfungsi
mencerna karbohidrat, protei, dan proses pembentukan vitamin (Nuswantara, 2002).
d.
Rumen
Rumen
menempati dari pertengahan rongga perut bagian kiri yang memanjang ke belakang
sampai tulang pinggul atau pelvis dan kedepan menempel pada diafragma sekat
rongga dada. Bagian ini mempunyai tonjolan-tonjolan kecil yang disebut dengan
papilae yang tidak berglandula dan tanpa mempunyai pungsi sebagai sekretorik
tetapi dapat beradaptasi dengan baik dalam mencerna bahan kasar. Bagian luar
dari rumen seperti ada sulcus yaitu suatu celah akan tetapi dilihat dari dalam
disebut dengan pilar atau tonjolan sehingga rumen dibagi menjadi
kantong-kantong atau saccus, dorsal saccus, cranial saccus dan caudal saccus.
Pilar ini merupakan jaringan masculus dan juga mengandung pembuluh darah serta
jaringan ikat yang dapat berkontraksi sehingga dengan adanya gerakan itu
menyebabkan perpindahan dari makan di dalam dari atas kebawah dan sebaliknya
yang berfungsi untuk mencampurkan makanan (mixing).
Besar kecilnya kantong tersebut maka bagian yang terbesar adalah dorsal saccus,
diikuti ventral saccus, caudal saccus, dan yang paling kecil adalah cranial
saccus. Caudal saccus dibagi menjadi 2 yaitu dorso caudal saccus dan ventro
caudal saccus bagian
yang pertama lebih besar dibandingkan dengan yang kedua. Sedangkan dilihat dari
pilarnya (sulcus) dibagi menjadi 3 bagian (dilihat dari luar) yaitu dorsal groove, ventral groove, dan
longitudinal groove.
Keberadaan
asam lemak bebas di dalam rumen menyebabkan menurunnya kemampuan bakteri
selulolitik mencerna serat sehingga terjadi juga penurunan produksi asam lemak
atsiri, terutama C2, C3 dan C4. Padahal, ketiga asam lemak atsiri tersebut
merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia (Lubis,1998). Menurut
letak dari partikel pakan yang masuk dalam rumen maka rumen dibagi dalam
beberapa bagian yaitu :
1. Gas zone
yaitu bagian yang paling atas, pada bagian ini berisi gas-gas hasil fermentasi
dari pakan yang ada dalam rumen yang meliputi
gas CH4, CO2, H2S, dan H2. Bagian
gas zone tersebut besar kecilnya
dipengaruhi oleh jenis pakan yang gasnya dikeluarkan lewat kardia dengan
prosese eruktasi. CO2 paling besar jika gas tersebut tidak dapat
dikeluarkan akan tekumpul sehingga dapat menyebabkan suatu kelainan yaitu
bloot.
2. Pad zone
yaitu bagian dari rongga rumen yang berisi fiber yaitu suatu ingesta yang
terbentuk dari serat makanan yang dikonsumsi. Bagian ini juga terdapat
mikroorganisme terutama yang mencerna serat seperti kapang dan bakteri
selulolitik.
3. Fluid phase yaitu
dari rongga dari rumen yang berisi cairan. Pada bagian ini adalah bagian yang
paling besar dibandingkan
dengan rongga rumen lainnya, disamping itu juga terdapat populasi
mikroorganisme yang paling banyak.
4. High density phase
adalah bagian rongga rumen yang berisi benda berat, benda asing dibagian
tersebut seperti batu, metal. Hal tersebut juga tergantung ternak yaitu sapi
perah lebih sensitiif dari pada sapi potong (Nuswantara, 2002).
Rumen
memiliki tonjolan-tonjolan kecil yang disebut dengan papilae yang berperan
untuk memperluas permukaan sehingga
penyerapan nutrien hasil fermentasi tersebut lebih besar. Banyak
sedikitnya jumlah dan besar kecilnya papilae tersebut pada masing-masing ternak
ruminansia tergantung dari letaknya. Sapi mempunyai papilae yang panjang dan
banyak pada bagian tengah dan pada bagian sekitar pilar lebih sedikit. Bagian
ventral mempunyai papilae yang besar dan panjang sedangkan pada bagian dorsal
mempunyai papilae yang lebih kecil dan pendek.
Semakin
banyak ingesta yang terekspos pada pailae tersebut untuk tumbuh sehingga akan
menjadi semakin besar dan panjang. Perlu diketahui bahwa pada pilar-pilar rumen
tersebut papilaenya lebih sedikit yang dikarenakan fungsi pilar tersebut untuk
kontraksi sehingga kontak dan penyerapannya lebih sedikit. Bagian rumen yang
ada maka caudal adalah bagian yang paling sedikit terdapat papilaenya. Rumen
untuk ternak yang sudah dewasa menempati kurang lebih 80-86% dari seluruh
lambung yang mempunyai fungi sebagai berikut :
1. Menyiapakan
bahan pakan untuk seterusnya dicerna dalam saluran pencernaan.
2. Lokasi
proses fermentasi nutrien/zat makanan akan mementukan spesifikasi dari rumen
itu sendiri.
3. Proses
pencampuran dari ingesta (bahan makanan yang telah dicerna).
4. Tempat
terjadinya proses absorbsi dari hasil akhir fermentasi yang mekanisme
absorbsinya untuk masing-masing asam lemak akan berbeda
(Nuswantara, 2002).
Penyerapan asam lemak tidak terjadi
ditempat lain kecuali adanya suatu hal yang khusus, misalnya adalah proses
fermentasi dalam rumen tersebut cepat sedangkan absorbsinya tidak sempurna
sehingga sebagian dari asam lemak tersebut ikut ke dalam bagian lambung lain seperti retikulum dan
sebagainya. Berdasarkan fisiologinya pencernaan ruminansia mampu mensintesis
nutrien dari pakan kasar serta dibantu dengan kontribusi asam amino dari
mikroba yang berkembang biak dalam rumen. Oleh karena itu dalam formulasi pakan
ternak ruminansia dapat dikonsentrasikan pada pemenuhan kebutuhan nutrien
berdasarkan profil dan karakter nutrien komponen pakan terutama untuk bahan
kering, protein tercerna, energi metabolis, vitamin, dan mineral (Prawirodigdo,
2008)
e.
Retikulum
Nuswantara
(2002) menyatakan bagian yang kedua dari lambung depan adalah retikulum,
lambung bagian ini juga berpapilae yang berlainan bentuk dengan papilae pada
rumen. Bentuk papilaenya lebih spesifik yang berbentuk segi enam seperti sarang
lebah. Retikulum mempunyai fungsi dalam statusnya sebagai saluran pencernaan
terutama lambung bagian kedua yaitu :
1. Menyebarluaskan
makanan yang dicerna kembali menuju rumen karena tidak adanya klep yang
membatasi anatara rumen dan retikulum. Umumnya bagian pakan yang kasar seperti
hijauan, konsentrat yang dalam keadaan masih masif sehingga belum sempat
tercerna akan kembali ke rumen. Selain
itu
meluruskan jalan ingesta kebagian yang berikutnya atau omasum yang telah
dicerna atau berupa cairan.
2. Membantu
dalam proses ruminasi terutama pada pross regurgitasi dapat dilihat dari
motilitas lambung dimana retikulum dan rumen berperan dalam proses ruminasi.
3. Merupakan
lokasi untuk mencerna pakan yang masih belum sempat dicerna di rumen.
4. Ikut
mengatur arus bahan pakan dan materi pakan/ingesta dari retikulo rumen ke
lubang retikul omasum.
5. Merupakan
tempat terkumpulnya benda-benda asing.
6. Tempat
absorbsi hasil akhir fermentasi seperti VFA yang belum sempat diabsorbsi di dalam retikulum,
demikian juga terjadi absorbsi air dan amonia.
f.
Omasum
Menurut
Nuswantara (2002), omasum merupakan lambung depan terakhir yang dimiliki oleh
ternak ruminansia. Perut bagian tersebut masih tergolong perut semu karena
belum mensekresikan getah pencernaan. Omasum berbentuk seperti
lembaran-lembaran atau lipatan yang
disebut dengan laminae. Perut bagian ini sering disebut juga dengan perut
buku-buku. Lambung bagian omasum ini mempunyai fungsi sebagai berikut :
1. Mengatur
arus ingesta (bahan makanan yang telah dicerna) ke abomasum lewat lubang yang ada antara
omasum dan abomasum yang disebut dengan omasal-abomasal orificae. Setelah masuk
maka ingesta tersebut didorong masuk ke dalam abomasum.
2. Omasum
juga mencerna ingesta (bagian dalam terdapat lamine) sehingga ingesta yang ada
dalam omasum tersebut seolah-olah tergilas di lamine tersebut.
3. Penyaring
dengan adanya lamine pada bagian ini maka ingesta yang lebih besar akan
tertinggal dalam omasum sedangkan ingesta yang lebih kecil akan diteruskan ke
abomasum.
4. Omasum
juga merupakan tempat absorbsi produk akhir fermentasi seperti air sehingga
jika lambung tersebut kita buka banyak terdapat ingesta yang agak kering.
g.
Abomasum
Murti (2003) menyatakan bahwa abomasum
merupakan lambung sejati karena bagian ini sudah mulai disekresikan getah
pencernaan seperti HCL dan pepsin. Abomasum ternak ruminansia sama fungsinya
dengan lambung (abomasum ternak non ruminansia). Lambung tersebut dapat dibagi
dalam tiga bagian yaitu cardia, fundus, dan pilorus. Bagian kardia merupakan
gland mucus bagian ini berdekatan dengan omasum, anatara abomasum dan omasum
ini dihubungkan oleh suatu celah yang disebut dengan omase-abomas orificae. Bagian berikutnya adalah fundus yang
bergranula, pada tengah ini banyak disekresikan enzim pencernaan, fundic gland atau kelenjar yang
mendukung terdiri dari tiga tipe sel yaitu Body
chief cells yang mensekresikan enzim seperti prorenin dan pepsinogen, Nech chief cells mensekresikan mucos, Perietal cells yang mensekresikan HCL dan
yang paling akhir dari abomasum adalah pilorus yang dilengkapi dengan glandula
mukosa.
h.
Usus
Halus
Sebagian besar pencernaan dan absorbsi
nutrisi terjadi di dalam usus halus. Proses pencernaan dibantu oleh kelenjar
intestinal yang mengahasilkan mucin berfungsi sebagai pelicin dan enzim sukrase
memecah sukrosa menjadi glukosa, fruktosa, maltase memecah maltosa menjadi
glukose, eripsin memecah bentuk intermediet protein menjadi asam amino (Yasin,
2010).
Usus halus terbagi menjadi tiga bagian
yaitu duodenum, jejenum, dan illeum. Duodenum merupakan bagian pertama dari
usus halus. Saluran yang berasal dari hati dan saluran pankreas menyatu dalam
duodenum pada jarak yang pendek dibelakang pilorus (Istidamah, 2006). Jejenum
dengan jelas dapat dipisahkan dengan duodenum. Jejenum bermula dari kira-kira
pada posisi dari mesentri mulai kelihatan memanjang. Jejenum dan ileum itu
bersambung dan tidak ada batas yang jelas diantaranya. Protein
yang dikonsumsi tidak seluruhnya dirombak oleh mikroba rumen, sebagian ada yang
lolos dan masuk ke abomasum, terus mengalir ke usus halus (Tanuwiria, 2007). Bagian terakhir dari usus halus ada ileum
(frandson, 1992). Usus halus berfungsi sebagai berikut :
1. Tempat
terjadi pencernaan dan penyerapan karbohidrat dalam bentuk monosakarida.
2. Tempat
terjadinya perombakan peptida-peptida menjadi asam amino bebas dan kemudian
diserap.
3. Tempat
terjadinya perombakan lemak menjadi gliserida dan asam lemak bebas (VFA) dan
diabsorbsi.
i.
Usus
Besar
Usus besar memiliki selaput lendir
relatif lebih tebal, tidak memiliki vili, lebih banyak sel mangkok dari pada
usus halus (Drabble,1971). Sebagian air diserap oleh selaput mukosa usus besar
dan pada usus besar ini dikeluarkan lendir yang berfungsi sebagai pelicin. Ruminansia
memiliki usus besar yang terdiri dari sekum, kolon, dan rektum.
j.
Sekum
dan kolon
Sekum merupakan suatu kantong buntu dan
kolon yang terdiri dari bagian naik, mendatar dan turun. Bagian yang turun akan
berakhir di rektum dan anus (Frandson, 1986). Usus buntu bersama kolon
berfungsi sebagai tempat fermentasi selulosa dan karbohidrat lainnya yang tidak
di fermentasi dalam rumen, pada ruminansia alat pencernaan jauh lebih besar.
k.
Rektum
Getty (1975) mendefinisikan rektum
sebagai saluran pendek terdiri dari garis otot polos dengan membran mukosa dan
mempunyai saluran serosa pada interior dan berakhir pada anus. Rektum berfungsi
sebagai tempat untuk menyimpan feses selama menunggu saat yang tepat untuk
dikeluarkan. Bagian turun akan berakhir di rektum dan anus.
2.2.2
Proses yang terjadi di saluran pencernaan
1.
Prehensi.
Prehensi merupakan gerakan pengambilan
pakan dari luar masuk ke mulut untuk dikunyah. Alat-alat yang penting untuk
prehensi yaitu : bibir, lidah dan gigi.
2.
Mastikasi
Mastikasi yaitu proses pengunyahan
pakan secara mekanis menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, sebagai kelanjutan
pada prehensi. Pada mastikasi yang berrperan adalah gigi.
Walaupun ruminansia telah dilengkapi dengan gigi untuk
mengunyah pakan, tetapi biasanya mereka tidak melakukan pengunyahan sewaktu
makan. Bahan-bahan pakan tersebut hanya dicampur dengan saliva. Frekuensi
mastikasi rata-rata 94 kali per menit (Tanuwiria,
2007).
3.
Ensalivasi
Yaitu pencampuran pakan dengan saliva
dan untuk kemudian ditelan dalam bentuk bolus.
Pencampuran ini bertujuan untuk mempermudah penelanan pakan. Nuswantara (2002)
menyatakan saliva yang dikeluarkan ada tipe yaitu mucous yang mengandung mucim,
bentuknya kental sehingga bersifat viscous dan yang kedua adalah serous,
bentuknya cair (Watery) berjumlah
banyak dan mengandung senyawa bikarbonat yang berfungsi membafer (lob viscous).
4.
Degluitasi.
Bolus-bolus yang terbentuk akan
ditelan dan masuk ke dalam rumen bagian interior. Bolus-bolus rumput kering
akan terapung, sedangkan bolus konsentrat karena lebih berat akan
tenggelam. Bolus yang terjadi di dalam
mulut akan ditempelkan diujung lidah, kemudian dibawah keatas sampai
kelangit-langit mulut selanjutnya di bawah kebelakang, akibatnya epiglotis
membuka dan dengan dorongan lidah bolus masuk ke dalam faring. Setelah masuk
faring, terjadi stimulasi pada faring, akibatnya trachea akan menutup dan
dengan dorongan basa lidah, bolus masuk ke esophagus. Dorongan basa lidah juga
diperkuat oleh muskulus faring. Akhirnya bolus secara peristalik akan masuk ke
dalam rumen lewat kardia (Nuswantara, 2002)..
5.
Eruktasi
Eruktasi merupakan gerakan
pengeluaran gas CO2 dan CH4 hasil
fermentasi rumen lewat esophagus. Gas tersebut dikeluarkan dari rumen sewaktu
rumen distensi, sehingga tekanan didalam rumen turun, akibatnya gas akan keluar
dari bagian dorsal ke depan (Nuswantara, 2002)..
6.
Ruminasi
Ruminasi
merupakan gerakan yang komplek, berurutan dan terkoordinir, yang meliputi
gerakan-gerakan :
a.
Regurgitasi :
Merupakan pengeluaran kembali pakan yang
sudah sedikit dicerna dari rumen kerongga mulut yang diatur oleh susunan
syaraf. Syaraf yang berperan dalam gerakan regurgitasi adalah muskulus spinter
dan muskulus faringeal. Regusgitasi dimulai dari kontraksi retikulum yang
diikuti rumen bagian bawah, akibatnya ingesta akan dibawa keatas, yang kemudian
akan disusul oleh pengembangan rongga dada berkurang, dengan adanya stimulasi
bolus yang bergerak, kardia akan terbuka dan ingesta didorong masuk esophagus.
Adanya gerakan anti peristaktik, ingesta yang masih kasar akan terdorong masuk
kemulut. Setelah ingesta sampai dimulut maka akan dimastikasi kembali.
b.
Remastikasi :
Adalah
pengunyahan kembali ingesta. Gerakannya biasanya lebih lama dibandingan
mastikasi dan diatur oleh syaraf vagus. Frekuensi remastikasi lebih kurang 55
kali per menit.
c.
Reensavilasi :
Proses reenvilasi,
saliva yang dikeluarkan lebih banyak dari ensalivasi.
d.
Redeglutasi :
Adalah
penelanan kembali pakan langsung ke retikulum.
7. Usus
Halus
Usus
terjadi
proses pencernaan akhir, artinya semua zat yang masih bermolekul ganda atau
masih berantai panjang akan dirombak menjadi zat yang labih sederhana yang
umumnya bermolekul tunggal. Zat ini baru akan diabsorbsi dalam usus. Proses ini jejunum. Doedenum
dan ileum mempunyai fungsi yang hampir sama. Sedikit perbedaan ialah pada
jumlah kelenjar yang terdapat didalam bagian usus halus tersebut. Sepanjang
usus halus terdapat banyak kelenjar Brunner yang terletak pada puncak kelenjar
mucosa. Bagian ujung belakang jejenum, semakin ke belakang
semakin jarang, sehingga akhirnya pada ujung belakang ileum sangat jarang.
8. Usus
Besar
Meskipun air yang diminum dan air yang terdapat dalam
saliva serta caiaran gastrointestinlis
sebagian besar telah diserap dalam usus besar masih banyak mengandung banyak
air. Saat bahan makanan tertentu
melewati kolon terjadilah absorbsi cairan. Sehingga apabila beban makanan
tersebut melewati colon dalam waktu singkat maka kolon tidak sempat
mengabsorbsi cairan lebih banyak dan feses yang keluar nantinya masih banyak
mengandung airnya. Keadaan ini sering disebut diare, sebaliknya sembelit akan
terjadi apabila bahan makanan terlalu lama tinggal di kolon.
9. Proses
Pengeluaran Feses
Sisa hasil pencernaan akan dikeluarkan menuju rektum.
2.2.3
Keterkaitan sistem pencernaan dengan proses produksi
susu
Pakan pada ternak perah
selain dimanfaatkan untuk hidup pokok juga dimanfaatkan untuk produksi susu
(laktasi). Proses metabolisme sapi perah yang berproduksi tinggi berlangsung sangat
intensif. Menurut Burgstaller (1986) bahwa sapi yang berproduksi susu 30
kg/hari, maka sapi harus mampu mensintesis lemak susu 1200 gram, 1750 gram dan protein
susu 1100 gram. Untuk mensintesis 1 kg susu diperkirakan sekitar 400 liter
darah mengaliri ambing atau 12000 liter/hari.
Tinggi rendahnya produksi
susu sangat ditentukan oleh kemampuan sapi mensintesis nutrient yang terkandung
dalam susu, terutama gula susu (laktosa). Konsentrasi energi dalam ransum,
disamping daya tampung pakan dalam rumen pakan menentukan suplai energi atau nutrient pada sapi.
Oleh karena itu semakin tinggi kinerja sapi maka konsentrasi energi dalam pakan
juga harus ditingkatkan.
Feed intake dikendalikan
secara fisiologis maupun mekanis oleh sistem syaraf pusat. Secara fisiologis,
berhentinya sapi mengkonsumsi pakan (kenyang) akan ditentukan oleh : 1) energi
termis dalam proses metabolisme, 2) konsentrasi glukosa darah, 3)deposisi lemak
tubuh. Secara mekanis ditentukan oleh kemampuan/kapasitas rumen. Semakin cepat
pakan berpindah dari rumen maka feed intake akan semakin tinggi. Lama pakan
tinggal dalam rumen atau rate of passage ditentukan oleh intensistas
pembingkaran pakan yang ada dalam rumen oleh mikroorganisme rumen. Pakan yang
ada dalam rumen akan dedegradasi menghasilkan produk fermentasi yang sebagian
lagi akan diteruskan menuju saluran pasca rumen dan dapat dimanfaatkan oleh
ternak baik untuk keperluan hidup pokok maupun produksi susu atau laktasi. Keperluan
produksi susu ini nutrient pakan akan diubah menjadi nutrient susu melalui
biosintesis protein susu, biosisntesis laktosa dan biosintesis lemak susu.
Susu disekresikan terutama
pada waktu pemerahan. Komponen utama susu adalah : air, lemak, bahan kering
tanpa lemak, yang tersususn dari protein, laktosa, mineral, vitamin dan
beberapa tipe sel antara lain bakteri, leukocyte dan sel kelenjar susu. Tingkat
kecepatan produksi susu terutama ditentukan oleh proses-proses fisiologis
termasuk kecepatan sel kelenjar susu mengambil alih nutrient dari darah,
mengubahnya menjadi komponen susu, dan mengeluarkan kedalam lumen alveoli.
Proses pelepasan susu
kedalam lumen alveoli terjadi tanpa membuka bagian sel. Sebenarnya susu tidak
benar-benar terbentuk sebelum mencapai lumen alveolus, dimana masing-masing
komponen susu terbentuk pada bagian bawah sel, dan sejalan dengan berkembang
ukurannya lemak tersebut bergerak menuju lumen alveolus. Tetes lemak ini akan
terbungkus dengan membrane sel sesaat tetes lemak tersebut mendesak keluar dari
sel, sehingga terjadi tonjolan yang kemudian terjadi penyempitan sehingga
terbentuk semacam gelembung yang berisi lemak dan akhirnya penyempitan menutup
dan gelembung lemak terlepas sesaat setelah membrane sel kembali rapat. Lain
halnya dengan pelepasan protein, molekul protein yang terbentuk granula dalam
vacuola dan dilepaskan kedalam lumen alveolus tanpa terbungkus dengan membrane
sel. Laktosa juga disekresikan kedalam vacuola sekretorik dan dilepaskan
kedalam lumen alveolus bersama-sama dengan protein.
a. Biosintesis
protein susu
Protein pada umumnya terdapat asam
amino esensial dan asam amino non esensial. Protein susu mengandung asam amino
esensial dibandingkan dengan bahan makanan alami yang lain. Hal ini merupakan
salah satu factor yang menyebabkan susu disebut sebagai bahan makanan alami
yang mendekati sempurna. Semua disintesis dalam sel sekretorik dari asam-asam
amino bebas. Protein-protein ini detemukan hanya dalam susu dan tidak terdapat
dalam bahan makanan alami yang lain. Dalam susu casein bersama-sama membentuk
struktur spiral yang disebut micelle.
Walaupun fungsi utama pedet casein
adalah untuk memnuhi kebutuhan pedet, fungsi lain telah diketahui. Contoh :
kappa casein menstabilkan miclle casein, apabila stabilitasnya terganggu, akan
terjadi curd dalam susu. Beta lactoglobulin menghasilkan flafour yang spesifik
bila dipanaskan. Bila protein susu didenaturasi oleh panas ini akan mencegah
terbentuknya curd yang sangat dibutuhkan dalam proses keju cottage. Kelompok
kedua protein susu termasuk immunoglobin dan serum albumin darah tampak
tersusun dari protein darah dan tidak terjadi perubahan dalam susu. Sintesis
protein ini dalam kelenjar susu tidak diperlukan.
Jumlah protein susu relative sedikit,
dan protein yang dihasilkan selalu tersusun dari jumlah asam-asam amino yang
sama dan tersusun dalam deretan yang sama. Setiap individu sapi selalu
menghasilkan protein susu yang sama, tetapi hal ini dapat berbeda dengan
protein yang dihasilkan dalam peternakan.
Sinteis protein memerlukan energi,
dan energi berasal dari pemecahan adenosine triphosphase (ATP) menjadi
adenosine monophosphate (AMP). Pada ruminansia ATP dihasilakan dari oksidasi
karbohidrat, terutama glukosa, dari asetat dan lemak. Sintesis protein susu
yang optimal tidak mungkin terjadi apabila sejumlah energi yang diperlukan
tidak tersedia dalam ransum.
b. Metabolisme
karbohidrat pada sapi perah
Karbohidrat dalam darah sapi adalah
glukosa. Sebagian besar karbohidrat dalam pakan difementasi dalam rumen menjadi
volatile fatty acids (VFA). Salah satu dari VFA ini adalah asam propionat
diubah menjadi glukosa dalam hati. Sumber glukosa darah yang penting lainnya
pada ruminansia adalah dari pemecahan protein (glukogenesis) dalam jaringan
peripher sampai kelenjar susu. Asam glukosa dalam darah hanya sekitar setengah
jumlah yang ditemukan dalam ternak non ruminansia. Ketersediaan glukosa mungkin
merupakan factor pembatas untuk mencapai sekresi susu maksimal pada ruminansia.
Pemanfaatan glukosa dalam darah pada
sapi digunakan oleh sekretorik untuk beberapa kepentingan, masing-masing
terkait dengan sintesis susu. Glukosa dimanfaatkan untuk sintesis gula susu atau
laktosa, glukosa juga dimanfaatkan sebagai sumber ATP, digunakan untuk sintesis
komponen gliserol dari triglisarida susu dan digunakan untuk sintesis RNA.
c. Biosintesis
laktosa
Laktosa menyebabkan adanya rasa sedikit manis pada
susu. Laktosa juga menyebabkan terjadinya pertumbuhan bakteri tertentu yang
membentuk asam laktat dalam susu halus pedet. Asam laktat membantu dalam proses
absorbs CA dan P untuk pembentukan tulang pada pedet muda. Glukosa merupakan
satu-satunya prekusor laktosa. Molekul glukosa harus terdapat dalam kelenjar
susu untuk membentuk satu molekul laktosa. Satu unit glukosa diubah menjadi
galaktosa. Penggabungan satu molekul glukosa kedua dengan molekul galaktosa,
menggunakan katalisator enzim lactose sintetase.
d. Biosintesis
lemak susu
Karakteristik lemak susu sapi
terdiri dari campuran trigliserida dengan proporsi asam lemak rantai pendek
(C4-C14) yang agak tinggi (sekitar 50%). Karakteristik lain lemak susu adalah
proporsi yang tinggi dari asam lemak jenuh. Kandungan asam lemak susu menjadi
penting juga karena menentukan harga susu.
e. Prekusor
asam lemak rantai panjang
Asam-asam lemak dalam ransum sapi
menyumbang sekitar setengah dari jumlah asam lemak yang ditemukan dalam susu.
Asam-asam lemak ini hamper seluruhnya merupakan berbagai asam lemak rantai
panjang. Sebagian besar asam lemak tumbuhan dalam pakan sapi adalah asam lemak
rantai panjang dan jenuh. Banyak asam lemak tidak jenuh mengalami hidrogenasi
dalam rumen dan menjadi jenuh. Ini yang menyebabkan terjadi peningkatan
proporsi asam lemak jenuh yang tinggi pada susu sapi.
Setelah melalui rumen, asam lemak
rantai panjang diabsorbsi dari dinding usus halus ke dalam sistem limphe,
kemudian menjadi terikat dengan satu protein, bergerak kedalam saluran darah,
dan diabsorbsi dari darah oleh sel sekretorik kelenjar susu. Tipe pakan sapi
dapat mempengaruhi panjangnya rantai asam lemak yang disekresikan kedalam susu
dan tingakat kejenuhan ( karena rumen tidak 100% efisien dalam manghidrogenasi/
menjenuhkan semua asam lemak dalam pakan).
f. Prekusor
asam lemak rantai pendek
Asam lemak rantai pendek yang menyusun sekitar 50%
lemak susu, tidak dihasilkan langsung dari assam lemak dalam ransum, tetapi
disintesis dalam sel sekretorik kelenjar susu dari asam asetat dan satu benda
keton, beta-hidroksi butirat. Asetat atom C-2 sedangkan beta-hidroksi butirat
molekul dengan 4 atom C, dan kedua molekul asam lemak ini berasal daari
fermantasi karbohidrat tanaman pakan dalam rumen menjadi VFA. Asam lemak rantai
pendek mempunyai bau yang tajam.
Asam lemak rantai pendek disintesis
dengan langkah-langkah penambahan dari asam asetat. Dengan kata lain panjang
rantai meningkat dua karbon setiap proses. Jalur yang pertama untuk sintesis
lemak dalam sel sekretorik menggunakan beta-hidroksi butirat sebagai bahan
pokok, yang diubah kembali menjadi asam lemak volatile butirat dan dengan
penambahan setiap kali dua karbon dapat tersusun asam lemak rantai pendek
dengan variasi panjang rantainya.
Asam asetat lebih banyak digunakan
untuk sintesis lemak susu dibandingkan dengan asam beta-hidroksi butirat.
Asetat juga dapat menyediakan energi untuk sel sekretorik. Karena kontribusinya
yang besar dalam sintesis susu maka produksi asetat dalam rumen sapi esensial
untuk optimalisasi produksi susu.
g. Vitamin,
mineral dan air
Sel sekretorik tidak dapat mensintesis vitamin atau
mineral, karena itu semua vitamin dan mineral dalam susu disuplai dari darah.
Calcium (Ca), Phosphor (P), Potasium (K), Cloride (Cl), Sodium (Na), dan
Magnesium (Mg) merupakan mineral utama dalam susu. Walaupun mineral dalam susu
diserap dari darah, tetapi belum dapat disimpulkan apakah mineral tersebut
diabsorbsi dari konsentrasinya dalam darah atau ada mekanisme yang memungkinkan
penyerapan secara selktif. Ada beberapa bukti bahwa sel epithel dapat melepas
mineral kembali kedalam seperti melepas kedalam susu, yang menggambarkan adanya
mekanisme transport aktif.
Air dalam susu sebagian berasal dari
cairan intraseluler yang kaya akan potassium dari sel alveolus dan sebagian
dari aliran darah yang diabsorbsi untuk menjaga keseimbangan osmose, karena
hasil sintesis laktosa, protein dan lemak. Bila susu dalam keseimbangan osmose
dengan darah dan jumlah laktosa hamper sepertiga tekanan osmose susu, kenaikan
konsentrasi laktosa menyebabkan penambahan air dan penurunan kandungan sodium dan
chloride dalam susu. Proses ini dapat sangat mempengaruhi produksi susu,
terutama karena kadar air susu sangat tinggi (87%).
2.2.4
Penyakit Metabolik Pencernaan
1.
Milk Fever
Milk fever dan hipokalsemia subklinis
(total kalsium darah 2,0 mmol/l) adalah penyakit penting akibat gangguan
makromineral pada sapi-sapi periode periparturien. Kejadian milk fever biasanya
sekitar 5-10%, namun beberapa penulis pernah menyatakan insidensi rate milk
fever bisa mencapai 34% bahkan lebih. Negara Irlandia pernah memiliki kejadian milk fever bisa mencapai 50%, di New Zealand sebesar 33% (Mulligan et al., 2006). Namun dari
semua laporan yang pernah ada, belum pernah dilaporkan prevalensi hipokalsemia
subklinis.
Milk fever adalah penyakit yang terjadi
akibat ketidakmampuan seekor sapi beradaptasi terhadap perubahan konsentrasi
kalsium di dalam tubuhnya. Kalsium adalah makromineral yang sangat penting di
dalam tubuh. Kalsium berperan dalam proses pembentukan tulang, kontraksi otot,
pembekuan darah dan lain-lain. Bila seekor sapi kehilangan kalsium akibat
proses pemerahan, maka kalsium darah harus segera tergantikan. Ketidakmampuan
sapi menanggapi kebutuhan tersebut menyebabkan konsentrasi kalsium darahnya
turun dan menyebabkan gangguan peran fungsi kalsium termasuk kontraksi otot. Umumnya
sapi penderita mempunyai konsentrasi kalsium darah kurang dari 7 mg/dl.
Implikasi menurunnya peran fungsi kalsium mempunyai dampak yang luas terhadap
sistem kekebalan dan penyakit-penyakit lain pada sapi periode periparturien.
Penelitian Triakoso dan Willyanto (2001) pada sapi perah di KUD Karang Ploso
Malang, juga menunjukkan hal yang sama. Parturient hipokalsemia pada sapi-sapi
di KUD Karang Ploso Malang meningkatkan risiko terjadinya distokia sebesar 7,8;
retensi plasenta 2,6; metritis 4,1 dan kepincangan sebesar 6,6 kali dibanding
sapi yang tidak megalami parturient hipokalsemia.
Beberapa peneliti pernah melaporkan
adanya keterkaitan antara milk fever dengan penyakit-penyakit gastrointestinal
seperti rumen dan abomasum (Daniel, 1983; Jorgensen et al., 1998). Hal ini karena
adanya penurunan motilitas muskulus rumen dan abomasum pada sapi penderita
hipokalsemia subklinis maupun klinis. Menurunnya motilitas ini juga berpengaruh terhadap intake pakan. Penurunan
intake pakan akan sangat tampak pada sapi yang berpoduksi tinggi, dimana
kebutuhan akan pakan juga tinggi. Goff (2003) mengindikasikan bahwa menurunnya
motilitas dan kekuatan kontraksi abomaum akan berpengaruh terhadap kejadian
atoni abomasun dan distensi abomasum pada sapi yang mempunyai konsentrasi
kalsium rendah di sekitar waktu partus.
2.
Milk Fever dan Mastitis
Milk fever meningkatkan risiko
terjadi mastitis pada sapi perah. Penderita milk fever akan mengalami kesulitan
mengalami kontraksi otot, termasuk juga otot-otot lubang puting. Penelitian
Daniel et al. (1983) menunjukkan hubungan antara kekuatan dan laju kontraksi
otot polos intestinal sejalan dengan konsentrasi kalsium darah. Sphincter
lubang puting tersusun dari otot-otot polos. Kontraksi otot-otot polos tersebut
akan menyebabkan lubang puting menutup. Jika terjadi hipokalsemia maka akan
terjadi penurunan kekuatan dan laju kontraksi otot polos tersebut dan pada
akhirnya akan menyebabkan gangguan penutupan lubang puting. Sebagaimana kita
tahu bahwa lubang puting akan membuka sangat lebar setelah proses pemerahan dan
semakin lebar bila sapi tersebut produksi susunya tinggi. Sementara itu
penderita milk fever cenderung untuk rebah karena tidak mampu menopang berat
badannya, karena kelemahan kontraksi otot-otot tubuhnya. Terbukanya lubang
puting dan kecenderungan sapi rebah akan meningkatkan kemungkinan masuknya
bakteri melalui lubang puting yang menjadi dasar proses kejadian mastitis.
Sementa itu, neutrofil dan limfosit perifer mengalami penurunan fungsi
kekebalan pada sapi penderita milk fever (Kehrli, Jr. and Goff, 1989). Demikian memang
milk fever meningkatkan risiko mastitis. Beberapa penelitian menyatakan bahwa
risiko matitis meningkat 8 kali pada sapi penderita milk fever.
Hipokalsemia juga menjadi stressor bagi sapi perah. Sapi
perah yang memasuki inisiasi partus akan terjadi peningkatan kadar kortisol 3-4
kali. Sapi hipokalsemia subklinis
ditemukan peningkatan kortisol 5-7 kali saat partus, sementara pada sapi yang
mengalami milk fever ditemukan peningkatan kortisol 10-15 kali lipat (Horst and
Jorgensen, 1982). Tingginya kadar kortisol akan menyebabkan imunosupresi pada
sapi pada periode periparturien dan diduga mulai terjadi 1-2 minggu sebelum partus
(Kehrli et al., 1989; Ishikawa et al, 1987; Kashiwazaki et al., 1985).
BAB III
KESIMPULAN
1.
Sistem
pencernaan terdiri dari saluran pencernaan yang dilengkapi dengan beberapa
organ yang bertanggung jawab terhadap pengambilan, penerimaan, pencernaan dan
absorbsi zat makanan. Pencernaan pada
ruminansia dimulai dari mulut,
esofagus, rumen, retikulum, kembali lagi ke mulut, retikulum, omasum, abomasum,
usus halus, usus besar dan anus.
2.
Proses
pencernaan pada rumen adalah pencernaan protein, polisakarida, dan fermentasi
selulosa oleh enzim selulase yang dihasilkan oleh bakteri dan protozoa
tertentu. Setelah dari rumen, makanan akan diteruskan ke retikulum dan di tempat ini makanan akan
dibentuk menjadi gumpalan-gumpalan yang masih kasar disebut bolus.
3.
Tinggi rendahnya
produksi susu sangat ditentukan oleh kemampuan sapi mensintesis nutrient yang
terkandung dalam susu, terutama gula susu (laktosa).
Tingkat kecepatan produksi susu terutama ditentukan
oleh proses-proses fisiologis termasuk kecepatan sel kelenjar susu mengambil
alih nutrient dari darah, mengubahnya menjadi komponen susu, dan mengeluarkan
kedalam lumen alveoli.
4.
Penyakit metabolik pada
pencernaan ruminansia adalah Milk fever dan mastitis.
5.
Milk fever adalah penyakit penting akibat gangguan makromineral pada
sapi-sapi periode periparturien yang menyebabkan
konsentrasi kalsium darahnya turun dan menyebabkan gangguan peran fungsi
kalsium termasuk kontraksi otot.
6.
Mastitis menyebabkan
penurunan kualitas susu dari segi kandungan susu yang rusak akibat bakteri.
DAFTAR
PUSTAKA
Blaxter,
K.L. 1969. The Energi Metabolism of
Ruminants. Hutchinson Scientific and Technical. London
Daniel,
R.C.W. 1983. Motility of the rumen and
abomasum during hypocalcemia. Can.J.Comp.Med. 47:276
Frandson,
R. D. 1986. Anatomy dan Fhisiology of
Farm Animals. Colorado State University, Fort Collins.
Getty,
R. 1975. The Anatomy of the Domestic
Animal. WB Saunders. London
Goff,
J.P. 2003. Managing transition cow –
consideration for optimising energi and protein balance and immune function.
Cattle practice. 11(2):51-63
Istidamah,
Iis. 2006. Study Perbandingan Fisiologi
dan Anatomi Saluran Pencernaan Kambing dan Domba Lokal. Skripsi.
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Jorgensen,
R.J., N.R. Nyegaard, S. Hara, J.M. Enemark and P.H. Andersen. 1998. Rumen motility during induced hyper- and
hypocalcemia. Acta.Vet.Scand. 39:331-338
Lubis,
Darwinsyah. 1998. Laju Pertumbuhan Domba
yang Diberi Ransum Berkadar Lemak Tinggi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. Vol.
3 (3): 143-148
Nuswantara,
Limbang Kustiawan. 2002. Ilmu Makanan
Ternak Ruminansia (Sapi Perah). Fakultas Peternakan. UNDIP.
Orskov,
E.R dan M Ryle.1990. Energi Nutrition in
Ruminants. Elsevier Applied Science, London.
Parakkasi,
A. 1995. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak
Ruminansia. Universitas Indonesia : Jakarta
Prawirodigdo.
2008. Daya Dukung Pakan Hijauan dari
Limbah Pertanian dan Perkebunan untuk Ternak Kerbau Rawa di Beberapa Daerah di
Provinsi Jawa Tengah. Seminar Nasional Usaha Ternak Kerbau.
Sihombing,
D. T. H. 1991. Ilmu Ternak. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
Sutardi,
T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid I.
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor: Bogor
Sutardi,
T. 1983. Standarisasi Mutu Protei Bahan
Makanan Ternak Ruminansia Berdasarkan Parameter Metabolismenya oleh Mikroba
Rumen. Proyek Pengembangan Ilmu dan Teknologi. Dirjen Pendidikan Tinggi:
Jakarta.
Tanuwiria,
U. Hidayat. 2007. Potensi Pakan Serat dan
Daya Dukungnya terhadap Populasi Ternak Ternak Ruminansia Diwilayah Kabupaten
Garut. Jurnal Ilmu Ternak, Vol.7 (2): 117-127.
Yasin,
Ismail. 2010. Pencernaan Serat Kasar pada
Ternak Unggas. Jurnal Ilmiah Inkoma, Vol 21 (3): 78-88.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar