I. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kelinci
adalah hewan mamalia dari famili Leporidae,
yang dapat ditemukan di banyak bagian bumi. Dulunya, hewan ini adalah hewan
liar yang hidup di Afrika hingga ke daratan Eropa. Pada perkembangannya, tahun
1912, kelinci diklasifikasikan dalam ordo Lagomorpha. Ordo ini dibedakan
menjadi dua famili, yakni Ochtonidae (jenis pika yang pandai bersiul) dan Leporidae (termasuk di dalamnya jenis
kelinci dan terwelu). Jenis-jenis kelinci. Secara umum, kelinci terbagi menjadi
dua jenis. Pertama, kelinci bebas. Kedua, kelinci peliharaan. Yang termasuk
dalam kategori kelinci bebas adalah terwelu (Lepus curpaeums) dan kelinci liar
(Oryctolagus cuniculus). Menurut rasnya, kelinci terbagi menjadi beberapa
jenis, di antaranya Angora, Lyon, American
Chinchilla, Dutch, English Spot, Himalayan, dan lain-lain. Di Indonesia
banyak terdapat kelinci lokal, yakni jenis kelinci jawa (Lepus negricollis) dan
kelici sumatera (Nesolagus net seherischlgel).
Keunggulan
komoditas dari ternak kelinci, antara lain: 1) Menghasilkan daging berkualitas
dengan kadar lemak yang rendah; 2) Hasil sampingannya (kulit, bulu, kepala,
kaki, ekor serta kotoran) dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan; 3) Areal
kandang yang dibutuhkan tidak harus luas; 4) Bahan pakan bisa dari hijauan,
sisa dapur, dan sisa produk pertanian (sisa sayur, bekatul, ubi-ubian) serta
ampas tahu; 5) Harga jual yang menguntungkan; dan 6) Pemeliharaan ternak mudah;
serta 7) Produktivitas tinggi dengan
litter size antara 5-12 ekor ternak kelinci setiap partus
Kelinci
memiliki karakter selalu siaga pada lingkungan sekelilingnya dan akan bereaksi
ageresif untuk menjauhi ancaman yangberada disekitarnya. Mereka mampu melakukan
pengamatan terhadap lingkungan dengan jangkauan yang jauh. Sehingga kelinci merupakan
hewan yang sangat aktif. Kelinci merupakan salah satu jenis ternak yang mudah
dalam pemeliharaanya, di Indonesia terdapat berbagai jenis kelinci, namun
sangat sulit mengetahui yang merupakan asal lokal karena banyaknya ternak kelinci
yang di datang ke Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan mengapa ternak
kelinci tidak begitu populer di tengah masyarakat pada saat ini sehingga dalam
perkembanganya ternak kelinci tidaki begitu berkembang dan kebanyakan ternak
kelinci hanya digunakan untuk ternak hiasan atau untuk mainan. Indonesia sangat
cocok untuk pengembangan ternak kelinci selain mudah dalam perawatannya dan
tersedianya sumber makanan kelinci yang cukup juga minat masyarakat yang mulai
tumbuh terhadap ternak keinci.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana keadaan reproduksi pada ternak
kelinci?
2.
Penyakit apa saja yang biasa menyarang
ternak kelinci?
3.
Bagaimana managemen pakan yang dilakukan
pada ternak kelinci?
II. PEMBAHASAN
2.1 KEADAAN
REPRODUKSI
Sistem
perkawinan pada ternak kelinci dapat dilakukan secara alami maupun dengan
inseminasi buatan, biasanya dalam mengawinkan kelinci yang betina dimasukkan
pada jantan, bilamana kelinci betina sedang birahi, dan biarkan beberapa hari
sampai terjadi kebuntingan yang ditandai bahwa kelinci betina tidak mau
menerima lagi pejantan, sehingga kelinci bisa dikawinkan kapan saja, sex ratio
antara jantan dan betina adalah 1 : 10, namun perlu diketahui berahi pada
kelinci bersifat induksi yang berarti bahawa bila terjadi rangsangan maka akan
terjadi ovulasi, dan ovulasi terjadi 10 jam setelah terjadi rangsangan, dan
fertilisasai terjadi 1 – 2 jam setelah ovulasi, daya fertil ovum 6 jam, lama
bunting rata-rata 30 hari, siklus estrus12 – 14 hari ditambah 4 hari masa
menolak, umur dikawinkan 5 – 7 bulan atau tergantung pada type kelinci (Sinaga,
2009).
Kelinci betina bisa
segera dikawinkan ketika mencapai dewasa pada umur 5 bulan (betina dan jantan).
Bila terlalu muda kesehatan terganggu dan dan mortalitas anak tinggi. Bila
pejantan pertama kali mengawini, sebaiknya kawinkan dengan betina yang sudah
pernah beranak. Waktu kawin pagi/sore hari di kandang pejantan dan biarkan
hingga terjadi 2 kali perkawinan, setelah itu pejantan dipisahkan (Sarwono,
1985). Sedangkan menurut Wahyudi (2003) Kelinci
betina harus sudah dikawinkan ketika mencapai dewasa tubuh. Kelinci
yang terlambat dikawinkan akan
menjadi sulit perkawinan
selanjutnya dan jika terlalu cepat akan menyebabkan mortalitas anak kelinci
yang tinggi dan menurunkan kesehatan induk. Dewasa tubuh kelinci betina dicapai
pada umur 4 bulan dengan ukuran badan kurang lebih 3 kg. Tanda-tanda kelinci
betina yang siap menerima pejantan adalah vulva bengkak dan merah serta siap
untuk dikawin.
Pejantan yang digunakan
sebaiknya yang telah berumur 5-6 bulan atau telah dewasa tubuh dan kelamin,
serta telah berpengalaman mengawini. Rasio jantan dan betina adalah 1:10 ekor.
Banyaknya service per conception adalah 1-2 kali. Perkawinan dilaksanakan di
kandang pejantan, lebih baik pada pagi hari. Purnama (2000) menambahkan bahwa
pubertas pada kelinci bervanasi dan sangat tergantung pads breech".
Kelinci jenis kecil mempunyai masa pubertas lebih dini dibandingkan kelinci
jenis besar. Kelinci betina lebih dulu mengalami pubertas dibandingkan
kelincijantan. Dewasa kelamin pada kelinci jantan NZW dicapai pada umur 6
bulan. Kelinci jantan mencapai dewasa kelamin pada umur 4-8 bulan, tergantung
pada bangsa dan tingkat makanan . Meskipun spermatozoa motil terlihat pada
ejakulat pertama umur 4 bulan tetapi spermatozoa yang mempunyai fertilitas baik
diperoleh pada umur 7-8 bulan. Survey pada peternakan rakyat di Jawa bahwa sebagian
besar peternak mengawinkan pertama kali kelinci jantan pada Umur 8 bulan, sedangkan
kelinci betina pada umur 6 bulan.
Tanda perkawinan yang
berhasil adalah pejantan terjatuh dan betina menjerit. Ovulasi akan terjadi 8
jam setelah perkawinan. Kebuntingan pada kelinci dapat dideteksi dengan meraba
perut kelinci betina 12-14 hari setelah perkawinan, bila terasa ada bola-bola
kecil berarti terjadi kebuntingan. Lama kebuntingan yang panjang terlihat bila
jumlah anak yang dilahirkan sedikit dan mempunyai berat lebih dari 100 gram,
sebaliknya jumlah anak yang banyak menjadikan lama kebuntingan lebih pendek .
Lama kebuntingan induk kelinci pada peternakan di Jawa bervariasi antara 29 -
36 hari dengan rata-rata 30 hari (Purnama, 2000). Tanda-tanda akan melahirkan adalah gelisah,
nafsu makan turun, bulu rontok ( moulting ) dan suka mengerat. Peralatan yang
harus disiapkan adalah sarang beranak berbentuk kotak yang ditempatkan di dalam
kandang induk Wahyudi (2003). Keberhasilan melahirkan kelinci pun bervariasi,
terkadang ada induk yang mengalami keguguran atau abortus. Abortus sering
terjadi pada induk yang baru pertama kali bunting, biasanya penyebab yang
mungkin terjadi karena induk mengalami stress entah itu karena lingkungannya yang
brisik atau gangguan dari yang lain. Sumadia (2000) menambahkan bahwa Kegagalan kebuntingan banyak terjadi pada
perkawinan kelinci yang dilakukan dengan suhu lingkungan yang terlalu panas.
Cekaman lingkungan yang panas pada pejantan dapat menghambat fertilitas
sedangkan pada betina berisiko terjadinya kematian embrio atau terjadinya
abortus. Selain itu ada kecendrungan induk kelinci menghasilkan liter size yang
rendah sehingga tidak menguntungkan dalam budidaya.
Setelah
dilahirkan anak akan mendapatkan asi kondusif sampai umurnya mencapai 45 hari
setelah kelahiran kemudian akan disapih. Perlakuan penyapihan ini dilakukan
selama 2 bulan sampai si anak akan siap makan makanan yang dia konsumsi
sendiri. Umur sapih pada kelinci yaitu
37,83 hari dan tergantung permintaan pembeli atau pedagang perantara. Kelinci
dapat dikawinkan lagi 24,9 hari setelah lepas sapih (Fauzi dkk, 2015).
Sedangkan dilapangan induk akan dikawinkan lagi pada hari ke 30 setelah
ia melahirkan dengan calving interval selama 7 hari, walaupun masih menyusui
tetapi sudah bisa dikawinkan. Harapannya adalah ketika anak-anaknya sudah lepas
asi induk sudah bunting kembali.
2.2
MANAJEMEN KESEHATAN TERNAK
Penyakit
yang biasa menyerang ternak kelincinya adalah scabies. Umumnya penyakit ini
juga dikenal dengan nama kudis. Scabies adalah penyakit kulit yang sering
dijumpai pada ternak di Indonesia dan cenderung sulit disembuhkan. Penyakit ini
disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei yang ditandai dengan gejala klinis
gatal pada kulit. Parasit S. scabiei adalah ektoparasit yang menyerang hewan
terutama pada bagian kulit yang dapat menurunkan produksi daging, kualitas
kulit, dan mengganggu kesehatan masyarakat. Semua hewan ternak dapat terserang
penyakit ini pada seluruh tubuh, namun predileksi serangan scabies pada
tiap-tiap hewan berbeda-beda, pada kerbau di punggung, paha, leher, muka, daun
telinga. Pada kelinci disekitar mata, hidung, jari kaki kemudian meluas ke
seluruh tubuh (Pasaribu, 2014). Penanganan yang dapat dilakukan pada kelinci
yang mengalami penyakit scabies adalah dengan cara mengobatinya menggunakan
obat. Pemakaian obat-obatan untuk scabies
umumnya dengan akarisida seperti benzene hexa chlorida (BHC), Coumaphous dan ivermectin
dapat juga belerang, olie bekas dan ketepeng .
Aplikasi obat dilakukan
melalui perendaman (Dipping), disikat (Brushing), penyemprotan
(Spraying), oral dan parenteral (Ahmad, 2008).
Iskandar
(2005) menambahkan kudis pada kelinci umumnya disebabkan oleh tungau Psoroptes
cuniculi, Chorioptes cuniculi, Notoedres cati, dan Sarcoptes scabiei, juga kutu
Haemodipsus ventricosus. Berdasarkan
lokasi, penyebab, dan tanda-tanda klinis dibedakan: Kudis pada liang telinga
Penyebabnya adalah tungau Psoroptes cuniculi dan atau Chorioptes cuniculi .
Tungau ini memulai serangannya di dasar rambut liang telinga, parasit mengisap cairan
kulit, membentuk lepuh-lepuh berisi cairan yang apabila pecah
menimbulkan kegatalan. Dengan tanda-tanda klinis kelinci selalu menggoyang-
goyangkan kepala, menggaruk-garuk daun telinga mengakibatkan lepuh akan pecah,
sering disertai infeksi sekunder lama kelamaan timbul keropeng-keropeng hal
ini dapat menyumbat liang telinga
bila dibiarkan akan menimbulkan
meningitis ditandai dengan kepala berputar (torticolis),
gerak-gerakannya tidak terkontrol (ataxia) dan akhirnya mati. Penyakit ini
dilaporkan Manurung et al (1986) tetapi mendapat infeksi campuran dengan
Notoedres cati di Bogor.
2.3
MANAJEMEN PAKAN TERNAK
Pemeliharaan ternak kelinci secara tradisional
dapat dilakukan dengan pemberian berbagai jenis leguminosa dan rumput-rumputan.
Disamping itu dengan memanfaatkan sisa – sisa dari sayuran dan pemberian pakan
tambahan berupa dedak padi, ampas tahu, pollard mampu meningkatkan
produktivitas kelinci. Pemeliharaan secara intensif dengan menggunakan ransum
komplit yang merupakan campuran dari bahan seperti jagung, bungkil kedelai,
bungkil kelapa, dedak padi, pollard, vitamin – mineral, kapur dan garam mampu
meningkatkan pertumbuhan dan efisiensi dalam penggunaan pakan (Budiarti, 2014).
Pakan
yang diberikan kepada kelinci berupa hijauan yang didapatkan dari sekitar
kandang berupa rumput bandotan, daun papaya dan daun pisang. Pakan kelinci sebagian besar terdiri dari hijauan, salah
satunya adalah rumput lapang. Tetapi pemberian rumput lapangan saja tidak
cukup, karena kadar protein yang terkandung dalam rumput lapang tidak memadai
yaitu hanya sebesar 6,7% (Sumoprastowo, 1985). Oleh karena itu perlu
dikombinasi dengan bahan lainnya. Menurut Sugeng (1993), menyatakan bahwa
protein pada hewan merupakan bagian terpenting dari bagian tubuh, akan tetapi
hewan tidak dapat membuat sendiri protein yang diperlukan, sehingga perlu
mendapatkan protein dari bahan pakan.
Pakan diberikan sebanyak
2 kali sehari yakni pada pagi dan sore hari, pakan yang diberikan berupa
campuran polard dan onggok sedangkan bungkil di tambahkan apabila kekurangan
polard. Kastalani (2013) menambahkan bahwa pemberian bahan pakan yang lainnya sangat penting
untuk menunjang bobot badan pada ternak kelinci. Onggok juga mudah dicari pada
toko poultry shop. Namun jika kekurangan suatu protein dalam tubuh kelinci maka
kelinci tersebut berarti tidak baik. Untuk
siang hari disediakan hijauan untuk camilan si ternak. Pakan dan minum
diberikan dipagi hari sekitar pukul 10.00. Kelinci diberi pakan dedak yang
dicampur sedikit air. Pukul 13.00 diberi rumput sedikit/secukupnya dan pukul
18.00 rumput diberikan dalam jumlah yang lebih banyak. Pemberian air minum
perlu disediakan di kandang untuk mencukupi kebutuhan cairan tubuhnya
(Kartadisastra, 1995). Jumlah pakan yang di berikan adalah 100 gram / ekor /
hari, sedangkan untuk induk yang menyusui 150 gram / ekor / hari.
|
III. KESIMPULAN
DAN SARAN
1.1 Kesimpulan
1.
Kelinci dapat dikawinkan secara alami
ataupun dengan cara inseminasi buatan (IB).
Kelinci sudah mulai bisa dikawinkan pada umur 5 bulan.
2.
Penyakit yang biasanya menyerang kelinci
adalah scabies atau kudis yang disebabkan oleh parasit S. scabiei.
3.
Pakan yang diberikan ke kelinci bisa
berupa rerumputan dan ditambah dengan polard, bungkil, mineral dan vitamin.
1.2 Saran
1.
Dalam pelaksanaan praktikum perlu
ditingkatkan lagi pengawasan dari asisten
2.
Untuk praktikan lebih teratur lagi dalam
melaksanakan praktikum karena prakttikum dilakukan bukan di area fakultas
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad. R. Z.
2008. Lethal Time 50 Cendawan Beauveria Bassiana dan Metarhizium Anisopliae Terhadap
Sarcoptes Scabiei (Lethal Time 50 of Beauveria bassiana and Metarhizium
anisopliae Fungy on Sarcoptes scabiei). Bogor.
Budiari, N. L. G. 2014. Pengaruh
Aras Kulit Kopi Terfermentasi dalam Ransum Terhadap Pertumbuhan Kelinci Lokal Jantan
(Lepus negricollis). Tesis. Program Magister Program Studi Ilmu Peternakan Program
Pascasarjana Universitas Udayana. Bali
Fauzi, dkk. 2015. Performance Reproduction
of Rabit in Bumiaji Sub-District Batu City. Lecturer at Faculty of Animal Husbandry,
University of Brawijaya, Malang.
Iskandar,
Tolibin. 2005. Beberapa Penyakit Penting pada Kelinci di Indonesia. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan
Veteriner. Bogor
Kartadisastra. HR, 1995, Beternak
Kelinci Unggul, Kanisius, Yogyakarta.
Kastalani. 2013.
Pemberian Rumput Lapangan dan Daun Lamtoro Gung Terhadap Pertambahan Bobot Bada
dan Bobot Badan Akhir Kelinci Lokasi Jaantan (Erictolagus cuniculus). Jurnal
Ilmu Hewani Tropika. Vol. 2, No. 1.
Pasaribu,
eskayanti. 2014.Scabiosis.Laporan Kasus Mandiri Koasistensi Magang II di
Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih - Sumatra Utara
Purnama, R. D. 2000. POLA REPRODUKSI PADA
TERNAK KELINCI. Teknis Fangsional non Peneliti
Sarwono. B, 1985, Beternak Kelinci
Unggul, Penebar Swadaya, Jakarta.
Sinaga. 2009. Pemeliharaan dan Perawatan
Kelinci. Agro Media Pustaka: Jakarta.
Sugeng, Y.B. 1993. Sapi Potong.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Sumoprastowo. 1985.
Beternak Kelinci Idaman. Bhratara
Karya Aksara. Jakarta.
Wahyudi, A.
2003. Strategi
Pengembangan Agribisnis Komoditas Ternak
Kelinci di Daerah Wisata Malang. Jurnal Edukasi Vol 1 No. 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar